Belanda pertama kali mendarat di Indonesia di Pulau Jawa, tepatnya di ujung barat Pulau Jawa, yang sekarang disebut Banten. Tujuan kedatangan Belanda datang ke Indonesia yang utama adalah mencari sumber rempah-rempah yang saat itu menjadi komoditi favorit perdagangan internasional dan berharga mahal. Rempah-rempah ini sangat banyak terdapat di Tanah Jawa yang sangat subur.
Namun, semangat gold, glory, dan gospel yang dibawa para penjelajah Barat, termasuk Belanda, membuat mereka tidak hanya puas menemukan sumber rempah-rempah. Keinginan menguasai tanah yang ditemukan semakin membesar. Ciri-ciri ideologi kapitalisme dan imperialisme berkembang pesat pada sekitar abad 18 sampai awal abad 19. Tujuan Bangsa Belanda datang ke Indonesia berusaha menguasai sedikit demi sedikit tanah Indonesia.
Awalnya, pemerintah Hindia Belanda mendirikan VOC (Vereeniging Organization Company) sebagai organisasi yang mengatur para pedagang Belanda di wilayah Indonesia. VOC kemudian dibekali beberapa aturan yang mengijinkannya membuat senjata dan mata uang. Membuat mereka mempunyai kekuasaan sendiri dalam mengatur Indonesia. Politik devide et impera digunakan untuk menguasai satu per satu wilayah Indonesia yang terbagi menjadi beberapa kerajaan.
Salah satu dari berhasilnya politik yang dalam Bahasa Belanda disebut politik adu domba Belanda tersebut adalah Perjanjian Giyanti. Perjanjian yang terjadi di Tanah Jawa dan membagi Kerajaan Mataram menjadi dua dan menandai runtuhnya Kerajaan Mataram Islam. Artikel akan membahas latar belakang Perjanjian Gianti.
Kesultanan Mataram
Salah satu kerajaan besar ketika Belanda masuk ke Indonesia adalah Kerajaan Mataram Islam. Kerajaan ini didirikan oleh salah satu keturunan Majapahit, Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang. Karena kerajaan ini berdiri di masa Islam sudah masuk ke tanah air dan bercorak Islam, maka disebut sebagai Kesultanan Mataram dan rajanya disebut Sultan.
Pada awalnya Kesultanan Mataram mempunyai wilayah di sekitar Jawa Tengah, yang dulunya memang menjadi pusat Kerajaan Majapahit. Kesultanan ini memperluas wilayahnya dan mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung Honyorokusumo yang dikenal dengan sebutan Sultan Agung tahun 1613 sampai 1645.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, wilayah kesultanan mencakup wilayah Barat Jawa, Priangan sampai wilayah Timur, Blambangan dan Pulau Madura. Hanya wilyah Batavia dan sekitarnya yang tidak dikuasai Kesultanan Makasar. Saat itu Batavia sudah dikuasai oleh VOC atau penjajah Belanda. Sultan Agung sendiri pernah beberapa kali menyerang dan berusaha mengusir Belanda dari Tanah Jawa di Batavia, tetapi tidak berhasil. Nama Sultan Agung dalam sejarah Bangsa Indonesia masuk ke dalam Pahlawan Nasional.
Kesultanan Mataram mulai mengalami masalah ketika Sultan Agung wafat. Penerusnya tidak dapat mempertahankan kekuasaan Kesultanan Mataram yang besar. Terjadi perselisihan kekuasaan antara Pangeran. Sampai di awal abad 18 ketika puluhan tahun SUltan Agung wafat, perselisihan semakin meruncing. Pangeran Mangkubumi berselisih dengan Sunan Pakubuwono III. Perselisihan yang kemudian dimanfaatkan oleh Belanda yang menjalankan politik adu domba. Belanda mulai campur tangan dalam keraton Mataram. Pangeran Sambernyawa yang tidak menyetujui masuk dan campur tangan Belanda dalam Kesultanan memberontak terhadap Sunan Pakubowonp III yang berkuasa. Pemberontakan yang didukung oleh Pangeran Mangkubumi.
Akibat dari seluruh perselisihan, Kesultanan Mataram berakhir. Berakhirnya Kesultanan Mataram ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Gianti / Giyanti (dalam Bahasa Belanda). Sebuah perjanjian yang sangat merugikan pihak Mataram dan menjadi awal penjajahan Belanda di seluruh Tanah Jawa.
Latar Belakang Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh VOC (organisasi yang mewakili Pemerintah Hindia Beladnda di Indonesia), Sunan Pakubowono III, dan Pangeran Mangkubumi. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 13 Febuari 1753, di Desa Giyanti, Dukuh Kertean, Dusun jantiharjo, Tenggara Karanganyar, Jawa Tengah. Nama perjanjian berasal dari nama tempat diselenggarakannya perjanjian. Secara de facto dan de jure, Perjanjian Giyanti merupakan akhir Kesultanan Mataram.
Mengapa dikatakan sebagai akhir dari Kesultanan Mataran secara de facto, karena perjanjian ini membagi wilayah Mataram menjadi 3 bagian kekuasaan, yaitu Sunan Pakubowono III, Pangerang Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubowono I, dan VOC. Secara de jure, Sunan Pakubowono III yang ikut serta menandatangani perjanjian berarti telah menyerahkan seluruh kekuasaan tanah Jawa saat itu kepada VOC dan Belanda.
Berikut isi perjanjian Giyanti secara umum:
Membaca Perjanjian Giyanti di atas, sangat berat sebelah. Kekuasaan yang ada pada keturunan Sultan Agung hanyalah simbolis belaka. Wilayah strategis sudah dikuasai Belanda. Agar dapat memahaminya, mari kita lihat beberapa latar belakang Perjanjian Giyanti. latar belakang tersebut diuraikan di bawah ini.
1. Belanda Ingin Menguasai Seluruh Tanah Jawa
Sejak menginjakkan kakinya di Pulau Jawa, tepatnya Di Banten, Belanda membawa misi tersendiri. Selain mencari sumber rempah yang terkenal, negara ini ingin menjajah tanah yang baru ditemuinya. Apalagi masa itu, imperialisme dan contoh era baru kapitalisme sedang mengalami puncak kejayaan. Belanda membutuhkan banyak sumber daya untuk pembangunan negeri.
Tanah jawa adalah tanah yang subur. Apa saja yang ditanam di wilayah ini dengan ijin Tuhan, akan menghasilkan. Belum lagi pesisirnya yang sangat ramai. Pelabuhan-pelabuhan di pesisir menjadi pusat perdagangan seluruh dunia. Sungguh sangat menggiurkan untuk dimiliki. Sedikit-sedikit wilayah jawa dan seluruh Nusantara Indonesia berusaha dikuasai. Kesultanan Mataram dengan wilayahnya yang sangat luas tentu saja sangat menarik bagi VOC.
2. Wafatnya Sultan Agung
Tidak dapat dipungkiri bahwa wafatnya Sultan Agung yang namanya terkenal sangat berpengaruh pada kelangsungan Mataram. Sultan Agung dengan tangannya yang telah menyatukan berbagai wilayah di Jawa, meskipun tidak berhasil mengusir Belanda dari Batavia.
Sepeninggal Sultan Agung para Pangeran di bawahnya tidak dapat melanggengkan kekuasaan. Sampai sekitar tahun 1750-an ketika Sultan Pakubowono III berkuasa, terjadi banyak pemberontakan. Belanda memanfaatkan situasi. Belanda berusaha masuk ke dalam Kesultanan. Namun, beberapa kelompok yang tidak menyukai melakukan perlawanan. Sampai pada akhirnya setelah beberapa kali berusaha membagi wilayah Mataram dengan perundingan dengan Sultan terdahulu, kali ini berhasil. Perjanjian Giyanti yang memanfaatkan perselisihan antara Sunan Pakubuwono III, Pangeran Mungkubumi, dan Pangeran Sambernyawa membuahkan hasil.
3. Penghianatan Pangeran Mangkubumi
Dari masa ke masa, harta dan kekuasaan seringkali menjadi perselisihan. Begitu pula yang terjadi di akhir kekuasaan Mataram. Pangeran Mangkubumi pada awalnya bergabung dengan Pangeran Sambernyawa yang melakukan pemberontakan. Namun, ketika situasi terdesak Pangeran Mangkubumi melihat kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan. Meskipun kekuasaan tersebut didapatnya dengan menghianati Pangeran Sambernyawa dan menghianati tanah kelahirannya. Kekuasaan yang hanya sedikit karena hanya di atas kertas. Pangeran Mangkubumi setuju untuk menandatangani Perjanjian Giyanti yang membelah Mataram menjadi beberapa bagian kekuasaan.
4. Penyelesaiaan Perselisihan Kekuassaan
Di masa akhir Kesultanan Mataram, Sunan Pakubuwono menganggap Perjanjian Giyanti sebagai cara menyelesaikan perselisihan kekuasaan yang terjadi setelah Sultan Agung wafat. Perselisihan yang telah berjalan bertahun-tahun dan sangat menguras energi. Padahal ternyata perjanjian tersebut justru menguntungkan pihak lain di luar Mataram. Perjanjian tersebut berarti menyerahkan kekuasaan kepada Belanda. Tidak hanya menyerahkan kekuasaan, tetapi juga menyerahkan seluruh rakyat yang berada di bawahnya. Belanda sendiri tidak pernah puas. Setelah membagi-bagi wilayah Mataram, wilayah tersebut tidak akan terlepas dari campur tangannya sampai benar-benar menyerahkan diri pada mereka.
Sungguh mahal harga yang harus dibayar. Tidak hanya para bangsawan yang membayarnya. Tetapi juga seluruh rakyat Mataram beserta seluruh anak cucu. Bukan hanya setahun dua tahun, tetapi mengundang Belanda untuk berada di wilayah menguras seluruh sumber daya selama ratusan tahun.
5. Mengurangi dan Menghilangkan Pemberontakan Sambernyawa
Sebelum ditandatanganiya Perjanjian Giyanti, pemberontakan Pangeran Sambernyawa paling terkenal. Dengan dibantu Pangeran Mangkubumi pemberontakan berpindah-pindah dan membakar seluruh wilayah Mataram. Tentu saja ini membuat geram Sunan Pakubuwono III yang berkuasa. Ketika Belanda mengulurkan bantuan, Sunan tidak berpkir panjang dan langsung menerimanya. Beberapa perjanjian tidak membuahkan hasil. Baru ketika Pangeran Mangkubumi mau dibujuk dan diajak berunding perjanjian tersebut terlaksana.
Sunan Pakubuwono tidak pernah mencermati isi perjanjian yang memberikan begitu banyak kekuasaan dan keleluasaan kepada Belanda. Bahkan memberikan seluruh wilayah bagian pesisir yang menguntungkan kepada Belanda. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti, pemberontakan Pangeran Sambernyawa kehilangan salah satu pendukungnya, yaitu pangeran Mangkubumi. Selain itu, gerakan pemberontakan menjadi semakin mengecil dan wilayah terbatas.
Demikian latar belakang Perjanjian Giyanti yang terjadi di wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram atau Mataram Islam dengan sedikit sejarah terjadinya. Sejarah yang hendaknya menjadi cerminan bagi kita semua bahwa bahaya dapat mengancam keutuhan bangsa seperti halnya Mataram. Penyebab disintegrasi nasional dapat berasal dari mana saja. Oleh karena itu upaya menjaga keutuhan NKRI harus selalu ditingkatkan. Contoh integrasi nasional harus diterapkan sejak dini dan dari lingkungan terkecil. Sikap cinta tanah air yang diimplemntasikan dalam kehidupan sehari-hari akan membuat semua warga negara dengan kesadaran penuh menjaga Indonesia. Makna proklamasi dan contoh sikap kepahlawanan dalam kehidupan sehari-hari yang harus kita jaga selamanya. Agar tujuan pembangunan nasional yang tercantum pada pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945 segera tercapai.
Badan usaha berdasarkan wilayah negara adalah badan usaha yang mana didalamnya dapat dikelompokkan dari asal…
Pemerintahan suatu negara memiliki banyak lembaga yang bertanggung jawab atas berbagai aspek administrasi negara. Lembaga-lembaga…
Para pendiri bangsa telah berkomitmen untuk mewujudkan cita-cita besar bangsa Indonesia, salah satu wujud komitmen…
Dari sudut pandang etimologi, kata "Otonomi" berarti mengatur sendiri atau memerintah sendiri. Pengertian Otonomi Daerah dapat…
Komitmen di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai "Tanggung jawab", perilaku bertanggung jawab dapat…
Pasal 18 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik…