Gerakan reformasi adalah semacam gerakan sosial yang bertujuan untuk membuat perubahan secara bertahap, atau perubahan dalam aspek-aspek tertentu dari masyarakat, daripada perubahan yang cepat atau mendasar. Gerakan reformasi dibedakan dari gerakan sosial yang lebih radikal seperti gerakan revolusioner seperti contoh penyimpangan konstitusi pada masa reformasi.
Ide-ide reformis sering didasarkan pada liberalisme, meskipun mereka mungkin berakar pada konsep sosialis atau agama. Beberapa bergantung pada transformasi pribadi, yang lain bergantung pada kelompok kecil, seperti roda pemintalan Mahatma Gandhi dan ekonomi desa yang mandiri, sebagai modus perubahan sosial. Gerakan-gerakan reaksioner, yang dapat muncul melawan semua ini, mencoba untuk mengembalikan segala sesuatunya sebelum ada keberhasilan yang dinikmati gerakan reformasi baru, atau untuk mencegah keberhasilan semacam itu.
Tuntutan Gerakan Reformasi
Berikut akan kami uraikan beberapa tuntutan gerakan reformasi tersebut :
1. Amandemen UUD 1945
Kenapa UUD 1945 Harus di ubah ketika terjadi gerakan refolusi? Ini di karenakan adanya tuntutan karena perubahan keukasaan tertinggi sekarang berada pada DPR, Presiden dan MPR. Dan ini juga yang mendasari mengapa terjadinya perubahan yang signifikan terhadap amandemen UUD 1945 tersebut. Karena kekuasaan tertinggi sebenarnya tidak dipegang oleh rakyat karena para penguasa tersebut tidaklah sepenuhnya pro kepada rakyat seperti contoh peranan partai politik.
2. Penghapusan Akan Doktrin Dwifungsi ABRI
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kemerdekaan dan pemerintahan Indonesia tidak bisa dipisahkan oleh adanya campur tangan dari ABRI. Dimana ABRI dulunya berperan dalam menghapuskan penjajahan, menjaga ketentraman dan ketertiban hingga keamanan dan juga memiliki fungsi tersendiri untuk menjaga pemerintahan Indonesia. ABRI tidak bisa dipisahkan dari adanya roda pemerintahan di Indonesia. Namun, ini harus di perbaharui agar gerakan reformasi bisa berjalan dengan baik dan lancar seperti perbandingan penegakan HAM di Indonesia.
3. Meredakan Pemberontakan
Proklamasi tersebut memicu serangkaian pemberontakan di seluruh Jawa yang meyakinkan pasukan Inggris yang dipercayakan dengan menerima penyerahan pasukan Jepang yang dianggap memproklamirkan diri sebagai republik serius. Pada tingkat pemerintah pusat, konstitusi yang diadopsi oleh para pemimpin Republik Indonesia yang baru adalah bentuk kepresidenan, tetapi Komite Nasional Indonesia yang representatif secara luas menjadi, pada dasarnya, sebuah parlemen ad hoc. Sukarno, sebagai presiden, setuju untuk mengikuti konvensi parlemen dengan membuat kabinetnya tergantung pada kemampuan mereka untuk memimpin kepercayaan komite seperti tujuan politik luar negri.
4. Oposisi Domestik
Sementara itu, pemerintah republik menghadapi beberapa oposisi domestik. Pada tahun 1946 sebuah plot sayap kiri diorganisir oleh pengikut Ibrahim Datuk Tan Malaka , yang menentang kebijakan negosiasi dengan Belanda. Peristiwa 3 Juli ini mudah dihancurkan. Pada bulan September 1948 tantangan yang lebih serius, dalam bentuk pemberontakan komunis ( Peristiwa Madiun ), juga dikalahkan.
5. Transfer Kedaulatan
Tindakan polisi kedua menimbulkan kekhawatiran Amerika. Ini juga menutup jajaran Indonesia di belakang republik. Dalam keadaan seperti ini, Belanda, pada konferensi meja bundar di Den Haag , akhirnya setuju pada bulan Agustus 1949 untuk mentransfer kedaulatan atas koloninya dengan pengecualian New Guinea Barat ke Amerika Serikat merdeka Indonesia pada bulan Desember 1949, keputusan tentang nasib akhir New Guinea Barat adalah menjadi bahan negosiasi di masa depan.
6. Menghidupkan kembali kaum konservatif
Di Indonesia, penangkapan kembali reformasi jarang terdengar lagi, dan komitmen negara terhadap reformasi kebijakan hampir mati. Pemerintahan Megawati saat ini kurang memiliki kepemimpinan dan visi. Meskipun pujian untuk kabinetnya ketika ia pertama kali berkuasa, Megawati tampaknya telah mengadopsi ‘tidak ada kebijakan’, terutama di bidang reformasi aparat keamanan Indonesia. Namun reformasi sektor keamanan sangat penting untuk mencapai Indonesia yang demokratis seperti perkembangan pers di indonesia.
7. Memisahkan Keterlibatan Militer
Reformasi pasukan keamanan Indonesia sejauh ini terbatas pada pertama, pemisahan polisi dari angkatan bersenjata, dan kedua, mengakhiri keterlibatan militer dalam ‘politik sehari-hari’ dengan melepaskan diri melayani petugas militer dari pos-pos sipil. Hal ini terjadi pada bulan Agustus 2002, ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) setuju untuk mencopot kursi otomatis militer dan polisi di MRP dan DPR pada tahun 2004. Jika militer dan polisi ingin bergabung dengan badan legislatif, mereka harus ikut kontes di pemilihan umum, yang mereka harus mengundurkan diri dari layanan. Ketiga, pasukan keamanan memegang posisi yang relatif netral selama pemilihan umum 1999. Sedikit jika ada reformasi lain dari pasukan keamanan telah tercapai.
Doktrin keamanan lama yang dikembangkan oleh komandan tentara 1950-an, Jenderal Nasution, tetap berakar kuat dalam strategi dan pemikiran militer Indonesia. Doktrin-doktrin ini termasuk gagasan ‘fungsi ganda’, di mana militer memainkan peran politik dan keamanan internal, dan ketergantungan strategis pada tindakan ‘kontra-gerilya’, yang dengannya militer seharusnya tetap tertanam dalam pada masyarakat sipil. populasi.
Lebih dari dua pertiga elit militer dilatih dan dibina dalam sistem teritorial tentara, yang sejajar dengan pos-pos sipil di setiap tingkat di setiap provinsi. Ada sedikit perubahan dalam sistem ini, atau dalam kurikulum rekrutmen kekuatan pertahanan baru. Untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk, politisi sipil elit masih menganggap militer dalam hal kekuasaan politik, dan bukan sebagai unsur negara yang melayani kebutuhan sipil. Dan ini merupakan tuntutan yang harus di benahi.