Dari sudut pandang etimologi, kata “Otonomi” berarti mengatur sendiri atau memerintah sendiri. Pengertian Otonomi Daerah dapat dimaknai juga sebagai kemandirian, atau dalam makna luas otonomi dapat diartikan sebagai “berdaya”. Maka, otonomi daerah dapat didefinisikan sebagai kemandirian sebuah daerah, kemandirian tersebut berkaitan erat dengan keputusan atau peraturan yang menyangkut kepentingan di daerah tersebut.
Wilayah atau daerah yang memiliki otonomi, artinya juga memiliki kewenangan dalam mengurus, melaksanakan segala hal yang berada di wilayahnya. Tentu saja pelaksanaannya didasarkan pada aspirasi masyarakat daerah tersebut.
Terdapat 8 dasar hukum Otonomi Daerah dalam UUD 1945 dan otonomi daerah di Indonesia saat ini diatur di dalam Undang-undang No.23 Tahun 2014, tentang Pemerintahan daerah yang menjelaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah unyuk mengatur dan mengurus pemerintahan untuk kepentingan masyarakat.
Otonomi daerah di Indonesia sudah dilakukan sejak masa penjajahan Belanda, bahkan sebagian sistem otonomi di masa kolonial hingga saat ini masih diterapkan sebagai dasar otonomi daerah di Indonesia.
Otonomi Daerah Masa Pemerintahan Belanda
Pada masa kolonial, pemerintahan Hindia Belanda telah menerapkan otonomi daerah. Aturan mengenai otonomi daerah di era pemerintahan Hindia Belanda disebut Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie atau peraturan tentang administrasi Negara Hindia Belanda.
Di tahun 1903, Belanda kemudian memberi keleluasaan pada pemerintah daerag untuk memiliki sistem keuangan sendiri, hal ini dituangkan di dalam aturan Decentralisatiewet. Di dalam aturan tersebut pemyelenggaraan pemerintahan diberikan kepada dewan daerah masing-masing. Namun pada penerapannya, pemerintah daerah bahkan tidak memiliki kewenangan apapun.
Dewan daerah hanya memiliki hak untuk membuat peraturan setempat tentang hal-hal yang belum diatur oleh pemerintah Belanda. Hal ini karena dewan daerah pada kenyataannya diawasi secara penuh oleh Gouverneur-General Hindia Belanda di Batavia.
Berlanjut di tahun 1922, pemerintah Belanda membuat peraturan baru tentang administrasi, kemudian muncul sebutan provinsi (provincie), kabupaten (regentschap), kota (stadsgemeente) dan kelompok masyarakat (groepmeneenschap). Sistem otonomi tersebut hanya dijalankan untuk kepentingan Belanda, agar daerah tidak menghambat Belanda untuk mengumpulkan kekayaan di Indonesia.
Sistem sentralisasi kekuasaan dan penyelenggaraan pemerintah daerah yang bertingkat di masa kolonial hingga saat ini masih diaplikasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Otonomi Daerah Masa Penjajahan Jepang
Masa penjajahan Jepang yang singkat di tahun 1941-1945 juga banyak merombak tentang otonomi daerah, pembagian daerah di masa penjajahan Jepang lebih detail dibandingkan Belanda. Jepang membagi daerah bekas jajahan Belanda menjadi 3 wilayah kekuasaan, yaitu Sumatera (Bukit Tinggi), Jawa dan Madura.
Di Jawa sendiri, Jepang mengatur pembagian daerahnya menjadi 3 wilayah di bawah kekuasaannya, yaitu disebut Syuu, di dalamnya ada Ken (kabupaten) dan Si (kota). Jepang tidak menerapkan provinsi dan sistem dewan seperti Belanda, sehingga pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan sama sekali.
Otonomi Daerah Di Masa Orde Lama
Setelah Indonesia merdeka dan memasuki era orde lama, pemerintah Indonesia menyusun ulang pemerintahan daerah melalui Penetapan Presiden No.6 Tahun 1959 dan penetapan Presiden tahun 1960. Peraturan tersebut berisi tentang aturan pemerintahan daerah.
Di era pemerintaha orde lama, daerah otonomi dibagi menjadi 3 tingkat daerah yaitu Kotaraya, Kotamadya dan Kotapraja dan hanya mengenal satu jenis daerah otonomi.
Otonomi Daerah Di Masa Orde Baru
Di masa orde baru, pengaturan otonomi daerah turut diperbarui, terdapat 2 tingkat daerah otonomi, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Di masa orde baru, pemerintah pusat memegang pengawasan ketat terhadap pemerintah daerah, pemerintah daerah adalah sebagai pelaksana tanggung jawab yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Pada era orde baru terdapat 3 jenis pengawasan terhadap pemerintah daerah, yaitu pengawasan preventif, pengawasan represif, dan pengawasan umum. Dapat dikatakan di masa orde baru, otonomi daerah tidak dapat berjalan dengan semestinya dan pelaksanaannya juga tidak merata di seluruh daerah karena kurangnya keleluasaan bagi pemerintah daerah.
Otonomi Daerah Di Masa Reformasi
Era reformasi banyak mengubah dan membuang berbagai kebijakan yang merugikan rakyat, salah satunya mengenai kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia. Kebijakan baru yang dibuat pemerintah Indonesia di era reformasi yaitu UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kebijakan otonomi daerah di era reformasi menjadi solusi dari berbagai permasalahan mengenai otonomi daerah di masa orde baru. Prinsip otonomi daerah Beberapa hal yang tertuang di dalam kebijakan tersebut yaitu mengatur ulang tentang desentralisasi politik, desentralisasi administratif dan desentralisasi ekonomi.
Kebijakan otonomi daerah di era reformasi belum berhenti dan terus dikembangkan dan disesuaikan, misalnya saja penggantian undang-undang tentang wewenang pemerintah pusat dan daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004, diganti dengan Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2014.
Salah satu perubahan dari Undang-undang tersebut yaitu mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten atau Kota. Peraturan yang berlaku juga mengatur lebih detail mengenai otonomi daerah, seperti yang tercantum di dalam lampiran UU No. 23 Tahun 2014.
Jalan Panjang Menuju Pelaksanaan Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, meskipun telah lama merdeka, baru mendapatkan titik cerah setelah tumbangnya orde baru. Tuntutan reformasi mendorong MPR untuk mengadakan sidang istimewa di tahun 1998.
Pada sidang istimewa tersebut ditetapkan TAP MPR No XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI.
Terbukti di masa reformasi otonomi daerah berjalan lebih baik dan pemerataan pembangunan di berbagai bidang di daerah-daerah semakin pesat. Tujuan otonomi daerah-pun mulai terealisasi, tujuan tersebut antara lain di bidang politik, ekonomi dan sosial. Contohnya saja munculnya 4 kebijakan Otonomi Daerah Jawa Timur yang telah diberlakukan dan perkembangan Otonomi Daerah di Sumatera Utara.
Di bidang politik, tujuan otonomi daerah yaitu pelaksanaan pemilu yang demokratis, sehingga muncul kepala pemerintahan daerah melalui pemilihan umum secara demokratis. Otonomi daerah dapat menciptakan ruang untuk penyelenggaraan pemerintahan yang responsif.
Di bidang ekonomi, tujuan otonomi daerah yaitu untuk memberi peluang bagi pemerintah daerah agar dapat mengembangkan kebijakan dan aturan regional hingga lokal. Mengoptimalkan potensi daerah untuk peningkatan pendapatan daerah.
Sedangkan di bidang sosial, tujuan otonomi daerah yaitu menciptakan dan mengembangkan sikap responsif dari masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan dan dinamika sosial yang terjadi di daerahnya. Meskipun begitu, ada kelebihan dan Kekurangan Otonomi Daerah di Indonesia.