Beberapa abad sebelum era kebangkitan nasional dan pergerakan nasional, bangsa Indonesia disibukkan dengan perang melawan kolonialisme dan imperialisme yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia yang akhirnya melahirkan banyak sekali pahlawan.
Berikut adalah beberapa pahlawan wanita Indonesia yang berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme bangsa asing di daerahnya masing-masing.
1. Cut Nyak Dien
Salah satu perang sebelum kemerdekaan Indonesia yang dihadapi bangsa Indonesia adalah Perang Aceh yang berlangsung pada tahun 1873 dan berakhir pada tahun 1912.
Dari Perang Aceh inilah lahir banyak sekali pahlawan, salah satunya Cut Nyak Dien.
Beliau lahir di Lampadang, Aceh Besar pada tahun 1848. Ayahnya adalah seorang Aceh keturunan Minangkabau yang bernama Teuku Nanta Setia Ulebalang VI Mukim.
Ketika Perang Aceh meletus tahun 1873, dua tahun kemudian daerah VI Mukim berhasil dikuasasi Belanda. Tahun 1878, suami Cut Nyak Dien gugur dan tahun 1880 beliau menikah dengan Teuku Umar yang juga merupakan pejuang Aceh.
Tahun 1884, Teuku Umar dan pasukannya berhasil merebut kembali daerah VI Mukim dari Belanda. Namun, tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur.
Sejak saat itu, Cut Nyak Dien melakukan perang gerilya di usianya yang menginjak 50 tahun.
Enam tahun berselang, Cut Nyak Dien dan pasukannya berhasil dilumpuhkan dan ditangkap Belanda. Cut Nyak Dien kemudian dibuang ke Sumedang, Jawa Barat dan meninggal dunia pada tanggal 6 November 1908.
Beliau diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 106/TK/Tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964.
2. R.A Kartini
Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879 dan meninggal dunia pada tanggal 17 September 1904 yang usianya yang baru menginjak 25 tahun.
Beliau diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108/TK/Tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964.
Beliau adalah sosok wanita yang gigih memperjuangkan kaumnya untuk memproleh pendidikan yang layak. Beliau pun bermimpi mendirikan sekolah bagi gadis-gadis di Jepara.
Komunikasi yang dijalin dengan beberapa orang temannya yang tinggal di negeri Belanda melalui surat berbuah beasiswa dari Pemerintah Belanda.
Namun, karena adat, ayahnya kemudian menikahkan beliau dengan Raden Adipati Joyodiningrat yang merupakan Bupati Rembang. Atas bantuan suaminya inilah, Kartini dapat mendirikan sekolah anak perempuan di Rembang.
Dari sinilah kemudian muncul sekolah-sekolah keputrian lainnya di Jawa.
Untuk mengenang perjuangannya, surat-surat Kartini kemudian diterbitkan dalam bentuk sebuah buku yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang atau Door Disternis tot Lieht.
3. Rasuna Said
Rasuna Said lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 14 September 1910 dan meninggal dunia pada tanggal 2 November 1965.
Beliau diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974.
Beliau adalah pahlawan wanita yang aktif dalam berbagai organisasi antara lain sebagai berikut.
- Organisasi Serikat Rakyat dan menjabat sebagai Sekretaris Cabang
- PERMI atau Persatuan Muslimin Indonesia yakni sebuah partai yang berhaluan Islam dan Nasional
- Pendiri organisasi Pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan pemerintah Jepang
Selain aktif berorganisasi, beliau juga merupakan seorang wartawan.Tercatat beliau pernah memimpin majalah”Menara Puteri”.
Setelah Indonesia merdeka, beliau menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera mewakili Sumatera Barat. Beliau juga pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, anggota DPR Republik Indonesia Serikat, anggota DPR Sumatera, dan anggota DPA (1959).
4. Siti Walidah
Siti Walidah atau Nyi Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tahun 1872 dan meninggal dunia pada tanggal 31 Mei 1946 di Yogyakarta.
Beliau diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 042/TK/Tahun 1971 tanggal 22 September 1971.
Beliau tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Namun beliau mempelajari dan mendalami agama Islam dalam bahasa Jawa berhuruf Arab dan mengaji Al Qur’an.
Suaminya yang bernama Kyai Haji Ahmad Dahlan membentuk organisasi wanita bernama Aisyiah pada tahun 1918 yang berada dalam tubuh Muhammadiyah. Organisasi ini kemudian diserahkan kepada Nyi Ahmad Dahlan.
Beliau menjadi pimpinan Aisyiah selama bertahun-tahun. Beliau juga berulang kali menjadi pimpinan kongres Aisyiah.
Selain itu, beliau juga aktif mendirikan asrama puteri sebagai tempat bagi pelajar puteri untuk mempelajari agama, kemasyarakatan, dan semangat kebangsaan.