Deklarasi Djuanda adalah Pengumuman Pemerintah yang dirumuskan oleh Perdana Menteri Indonesia Ir. H. Djuanda Kartawidjaja tentang Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia.
Deklarasi yang dikeluarkan pada tanggal 13 Desember 1957 ini intinya menyatakan bahwa batas laut teritorial Indonesia adalah 12 mil dihitung dari garis yang menghubungkan titik terluar pulau-pulau Indonesia.
Berikut ini latar belakang dikeluarkannya Deklarasi Djuanda.
1. Menjadi Sempitnya Wilayah Laut Indonesia
Deklarasi Djuanda bukanlah deklarasi yang dirumuskan tanpa pemikiran serta pertimbangan yang matang. Hal utama yang menjadi latar belakang Deklarasi Djuanda, di antaranya adalah adanya ketentuan mengenai wilayah Negara Republik Indonesia menurut Ordonansi 1939. Ordonansi yang dimaksud adalah Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939.
Sebelum Indonesia merdeka hingga 12 tahun setelah Indonesia merdeka, ketentuan mengenai wilayah Indonesia mengacu pada Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939.
Menurut peraturan yang berlaku hingga tahun 1957 ini pada intinya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan wilayah Indonesia adalah bagian wilayah Indische Archipel yang dikuasai Belanda atau wilayah jajahan Belanda yang meliputi beberapa pulau.
Maka itu tak mengherankan jika wilayah Indonesia saat Indonesia merdeka hanya meliputi pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan beberapa pulau lainnya.
Adapun mengenai wilayah laut Indonesia, Pasal 1 Ordonansi 1939 menyatakan sebagai berikut.
“Laut teritorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) daripada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebeld) dari Indonesia.”
Menurut Pasal 1 Ordonansi 1939 di atas, lebar laut Indonesia ditentukan sebesar 3 mil dihitung dari garis pasang surut setiap pulau.
2. Kapal Asing yang Bebas Masuk Menyebabkan Kerugian bagi Indonesia
Setiap pulau di Indonesia mempunyai batas laut sendiri yakni sejauh 3 mil dari garis pantai. Di luar batas laut 3 mil, laut-laut tersebut merupakan lautan yang bebas dilalui oleh kapal-kapal asing.
Kapal-kapal ini tentunya dapat melakukan apapun di perairan Indonesia seperti memanfaatkan kekayaan alam yang ada demi kepentingan mereka.
Selain itu, peraturan ini juga memberikan semacam “jalan” bagi Belanda untuk menguasai kembali Indonesia melalui politik agresi setelah Indonesia merdeka.
Saat itu, Belanda memanfaatkan keberadaan laut internasional di luar batas 3 mil dari setiap pulau untuk melakukan penutupan dan mendaratkan pasukan ke beberapa wilayah di Indonesia termasuk Irian Barat (sekarang Papua Barat).
Berbeda dengan Deklarasi Djuanda dimana laut menjadi penghubung antarpulau, Ordonansi 1939 secara prinsip menjadikan laut sebagai pemisah antarpulau.
Hal ini tentunya sangat merugikan bagi Indonesia dan sekaligus dapat menjadi penyebab terjadinya disintegrasi nasional bagi Indonesia yang baru saja merdeka.
Sebagai negara berdaulat yang menganut prinsip kepulauan, tentunya peraturan ini menjadi hambatan di bidang pertahanan dan keamanan tersendiri bagi Indonesia dalam hal melakukan pengawasan terhadap seluruh wilayah Indonesia.
3. Peraturan Lama yang Hanya Menguntungkan Pihak Belanda
Peraturan ini juga menyulitkan Indonesia dalam upaya menjaga keutuhan NKRI. Selain itu, Indonesia juga tidak dapat memanfaatkan kekayaan alam yang ada untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia dan masih berlaku hingga kini.
Berbagai hal yang menjadi latar belakang Deklarasi Djuanda di atas itulah yang memicu munculnya gagasan mengenai kedaulatan laut di wilayah Indonesia di era kepemimpinan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.
Di masa pemerintahannya, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo membentuk semacam Panitia Inter-Departemental pada tahun 1956 guna merancang Undang-undang Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim.
Namun, karena keadaan politik pada masa demokrasi liberal di Indonesia saat itu, tugas lembaga negara seperti DPR untuk menyusun RUU ini tidak dapat diselesaikan.
4. Tidak Ada Lagi Laut Bebas di Indonesia
Kemudian, di masa kepemimpinan Perdana Menteri Ir. H. Juanda Kartawidjaja, rancangan undang-undang ini diselesaikan.
Ia menginginkan lautan Indonesia kembali, karena terus menerus wilayah Laut Indonesia diklaim oleh pihak Belanda.
Kabinet Djuanda kemudian merumuskan sebuah deklarasi yang dimaksudkan untuk menggantikan Ordonansi 1939 buatan Belanda yang berpotensi memecah belah keutuhan wilayah Indonesia.
Deklarasi yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda ini diumumkan pada tanggal 13 Desember 1957 dan menyatakan bahwa,
“Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas landas lautan teritorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas akan diatur selekas-lekasnya dengan Undang-Undang.”
Deklarasi Djuanda yang mengubah batas laut Indonesia menjadi 12 mil dari sebelumnya hanya 3 mil dari batas pulau terluar telah membuat wilayah Indonesia menjadi semakin luas.
Saat dikeluarkan pada tahun 1957, luas wilayah Indonesia menurut Deklarasi Djuanda adalah sebesar 5.193.250 km² dibandingkan sebelumnya yang hanya sekitar 2.027.087 km².
5. Kebijakan Pemerintah Terhalang oleh Terbatasnya Wilayah Indonesia
Luas wilayah Indonesia ini belum termasuk Irian Barat yang masih menjadi masalah antara Indonesia dan Belanda sehingga belum diakui secara internasional.
Selain semakin luasnya wilayah Indonesia, garis batas yang mengelilingi wilayah Indonesia pun menjadi semakin panjang yakni sekitar 8.069,8 mil laut.
Deklarasi Djuanda kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.
Dengan adanya Deklarasi Djuanda, wilayah Negara Republik Indonesia tidak lagi dipandang sebagai wilayah yang terpisah-pisah, melainkan merupakan satu kesatuan wilayah yang utuh dan bulat.
Batas wilayah Negara Republik Indonesia pun menjadi semakin jelas sesuai prinsip negara kepulauan. Sementara itu, Indonesia juga dapat melakukan pengawasan penuh terhadap keseluruhan wilayah Indonesia.
Kapal-kapal asing yang melintasi wilayah perairan Indonesia dapat diatur sehingga keamanan dan keutuhan wilayah Indonesia dapat terjaga.