Mahkamah konstitusi telah dibuat berdasarkan UU RI Nomor 24 tahun 2003. Tugas mahkamah konstitusi menurut UUD 1945 adalah merupakan lembaga negara yang memiliki kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan keadilan guna menegakkan hukum dan serta peradilan negara. MK harus bisa memberikan pandangan yang baik juga pada dunia internasional sebagaimana peran indonesia di dunia internasional, demi menjaga hubungan yang baik dengan negara lain, jika negara lain mengetahui kebobrokan hukum peradilan tentu hal itu memberikan nilai minus dimata dunia.
Struktur mahkamah konstitusi
Mahkamah konstitusi memiliki sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan keputusan presiden, yang diajukan tiga orang oleh mahkamah agung, tiga orang oleh dewan perwakilan rakyat dan tiga orang oleh presiden. Ketua dan wakil ketua mahkamah konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan selama tiga tahun. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil dan negarawan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara hal itu dipertimbangkan untuk mengurangi penyebab terjadinya tindakan penyalahgunaan kewenangan.
MK (Mahkamah Konstitusi) mempunyai tanggung jawab dalam tugasnya sebagaimana dalam Tugas mahkamah konstitusi menurut UUD 1945 untuk mengatur segala organisasi, administrasif, serta keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih. MK (Mahkamah konstitusi) juga perlu untuk memberitahukan laporan secara berkala pada masyarakat secara terbuka mengenai : permohonan yang terdaftar, diperiksa dan diputus, pengelolaan keuangan dan tugas administratif lainnya.
Wewenangan Mahkamah Konstitusi
Wewenangan Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji UU Terhadap UUD 1945.
Kewenangan yang paling penting dari keempat kewenangan yang harus dilaksanakan oleh MK (Mahkamah Konstitusi) menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kewenangan untuk melakukan pengujian konstitusi undang-undang. maka dari keempat kewenangan tersebut, yang dapat dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan adalah pengujian atas konstitusi Undang-undang. MK (Mahkamah Konstitusi) harus bisa membangun karakter bangsa diera globalisasi sekarang ini, yang mana hukum peradilan harus tegak setegak-tegaknya dengan begitu nilai-nilai pendidikan karakter bangsa dalam segi hukum akan terbentuk.
Pengujian terhadap UU dilaksanakan melalui landasan UUD 1945. Pengujian dilakukan dengan 2 cara yaitu materil atau formil. Pengujian materil berkenaan dengan pengujian atas UU, sehingga jelas bagian mana dari UU yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945. Yang diuji dapat terdiri dari 1 bab, 1 pasal, 1 kalimat ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. kemudian pengujian formil adalah pengujian berkenaan dengan proses pembentukan UU tersebut menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang berlaku dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 yang dimana semua hal itu sudah dilakukan berdasarkan struktur lembaga negara sebelum dan sesudah amandemen.
2. Memutuskan Sengketa Pendapat
Mengenai hal sengketa dalam segala hal kewenangan lembaga konstitusi negara adalah adanya perbedaan pendapat atau pemikiran yang disertai persengketaan lainnya terhadap kewenangan setiap lembaga negara itu. Hal ini bisa terjadi mengingat sistem hubungan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan satu dengan yang lainnya. Sebagai akibat dari hubungan tersebut, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing lembaga timbul kemungkinan terjadinya perselisihan. Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini, akan menjadi hakim yang akan mengadili dengan seadil-adilnya. Dan kewenangan ini juga telah diatur dalam Pasal 61 -67 UU No. 24 Tahun 2003.
3. Memutuskan Pembubaran Partai Politik
Kebebasan Partai politik dalam berpartai adalah cerminan kebebasan manfaat organisasi dalam masyarakat dan bernegara untuk berserikat yang dijamin dalam Pasal 28 ayat (3) UUD 1945. Oleh sebab itu, setiap orang sesuai dengan ketentuan UU bebas mendirikan dan ikut serta dalam kegiatan parpol. Karena itu, pembubaran parpol bukan oleh anggota partai politik yang bersangkutan merupakan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional.
Untuk adanya jaminan perlindungan terhadap prinsip kebebasan berserikat itulah maka disediakan cara pembubaran suatu partai politik yang diwajibkan untuk ditempuh melalui prosedur dari konstitusi yang berlaku. Yang diberi hak “berdiri” untuk menjadi pemohon dalam suatu perkara pembubaran partai politik adalah Pemerintah, bukan orang perorang atau sekelompok orang. Yang berwenang memutuskan benar tidaknya hal-hal yang dijadikan alasan tuntutan pembubaran partai politik adalah Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, sebuah prinsip dari kemerdekaan untuk berserikat yang telah dikokohkan dalam UUD 1945 tidak dilanggar oleh para penguasa politik yang pada pokoknya juga adalah orang dari partai politik lain yang memenangkan pemilihan umum. Dengan cara ini, MK (Mahkamah Konstitusi) harus adil untuk mengatasi bahaya akibat jika tidak ada keadilan dalam masyarakat yang dimana partai politik biasanya mengusung aspirasi dari masyarakat, MK juga harus dapat pula menghindari timbulnya gejala dimana penguasa politik yang memenangkan pemilihan umum menghanguskan partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak sehat dan tidak fairplay menjelang pemilihan umum tahap berikutnya.
4. Memutuskan Perselisihan Tentang Hasil Pemilu
Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum memiliki tujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu pertama, pasangan calon presiden/wakil presiden, kedua, partai politik peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, dan ketiga, (perorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sedangkan penyelenggara pemilihan umum adalah Komisi Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU) sebagaimana yang telah berlaku dalam sistem pemilu di indonesia saat ini. Apabila timbul perselisihan pendapat antara peserta pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum, dan perselisihan itu tidak dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak, maka hal itu dapat diselesaikan melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi.
Yang menjadi permasalahan yang memang harus segera diselesaikan di Mahkamah Konstitusi adalah soal perselisihan perhitungan pendapatan suara pemilihan umum yang telah ditetapkan dan diumumkan secara nasional oleh KPU melalui struktur organisasi pemerintahan dikota,kabupaten maupun struktur organisasi pemerintahan desa yang menjadi panitia pemilu, dan selisih perolehan suara dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang akan diperebutkan. Jika terbukti bahwa selisih peroleh suara itu tidak mempengaruhi peroleh kursi yang diperebutkan, maka perkara yang dimohonkan akan dinyatakan tidak dapat diterima.
Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang telah diajukan sangat kuat dan beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan kursi yang diperebutkan akan jatuh ke tangan pemohon yang permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika permohonan tidak beralasan atau bukti-bukti yang diajukan tidak terbukti benar, maka permohonan pemohon akan ditolak. Ketentuan-ketentuan ini berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, maupun untuk pasangan capres/cawapres.
5. Memutuskan Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan Wakil Presiden
Memutuskan segala pemasalahan sengketa penuntutan pertanggung jawaban presiden atau wapres dalam istilah resmi UUD 1945 diberikan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden maupun Wapres telah melakukan pelanggaran hukum negara yaitu pengkhianatan terhadap negara, melakukan tindakan korupsi yang memiliki dampak korupsi bagi negara dan masyarakat, dan lain sebagainya. Atau perbuatan tercela yang menyebabkan presiden atau Wapres tidak lagi memenuhi syarat menjadi Presiden dan Wakil presiden menurut UUD dan juga meninggalkan tugas,fungsi, dan wewenang presiden dan wakil presiden. Maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk memberikan putusan atas opini atau pendapat DPR bahwa presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perkara pelanggaran hukum seperti, penghianatan terhadap negara sendiri, korupsi, penyuapan, tindakan pidana lainnya dan juga perbuatan tercela yang menyebabkan presiden dan wakil presiden tidak lagi memenuhi persyaratan seperti dalam UUD 1945.