Perjanjian Internasional tidak bisa dipisahkan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, perjanjian tersebut merupakan suatu persetujuan antara dua atau lebih negara mengenai penetapan, penentuan atau syarat balik tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak yang dinyatakan dalam bentuk formal. Tak berbeda dalam perjanjian nasional, seperti dalam tujuan perjanjian renville, pihak-pihak dalam perjanjian internasional menyetujui secara sukarela dengan didasarkan pada kedudukan sama dan kepentingan bersama atau Pacta Sunt Servanda (persetujuan antarnegara harus ditaati). Pengertian perjanjian Internasional menurut beberapa ahli :
- Oppenheimer – Lauterpacht, adalah persetujuan antaranegara yang menimbulkan hak dan kewajiban pada pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
- Schwarzenberger, adalah suatu persetujuan obyek-obyek hukum internasional baik itu bilateral ataupun multilateral yang menimbulkan kewajiban-kewajiban mengikat
- Prof Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH.LL.M, adalah perjanjian yang dilakukan antar anggota masyarakat yang bertujuan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu
- Konferensi Wina 1969, adalah perjanjian dua negara atau lebih selaku subyek hukum internasional untuk mengadakan akibat hukum tertentu
- Undang-undang nomor 24 tahun 2000, adalah perjanjian yang diatur dalam hukum internasional secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban pada hukum publik,
Dalam suatu negara, tak terkecuali Indonesia sudah pasti memiliki perjanjian internasional, baik itu sedang berlangsung ataupun telah berakhir seperti latar belakang perjanjian Giyanti, latar belakang perjanjian Saragosa atau tujuan perjanjian Tordesillas dan lainnya. Ada beberapa sumber yang menyatakan syarat-syarat berakhirnya suatu perjanjian internasional, diantaranya adalah :
Menurut Konvensi Wina 1969, beberapa hal yang membuat sebuah perjanjian internasional dibatalkan adalah sebagai berikut :
- Terdapat unsur kesalahan saat pembuatan asas perjanjian inernasional itu berlangsung sehingga pelaksanaannya tidak maksimal
- Terjadi pelanggaran ketentuan hukum nasional negara yang bersangkutan
- Terjadi penipuan pada salah satu negara yang bersangkutan
- Terjadi penyalahgunaan atau kecurangan dengan menghalalkan segala cara seperti suap oleh negara peserta dalam perjanjian internasional
- Terjadi paksaan pada salah satu negara peserta seperti ancaman atau dengan kekuatan
- Terjadinya pertentangan perjanjian internasional dengan dasar hukum internasional
Sedangkan menurut UU No 24 tahun 2000 pasal 18, batalnya perjanjian internasional disebabkan karena beberapa hal berikut :
- Terdapat kesepakatan pihak yang telah ditetapkan dalam tahap perjanjian Internasional
- Tujuan perjanjian telah tercapai
- Terjadi perubahan yang mendasar pada pelaksanaan perjanjian
- Adanya perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama
- Adanya norma-noma baru yang terdapat dalam hukum internasional
- Hilangnya obyek perjanjian
- Terdapat hal-hal yang menganggu kepentingan nasional
Contoh Kasus Pembatalan Perjanjian Internasional
Berikut adalah beberapa kasus pembatalan perjanjian internasional, diantaranya :
- Timor Leste dan Australia
Masalah perbatasan antara Timor Leste dengan Australia sebenarnya telah dipersengketakan selama satu dekade hingga dibawa ke Mahkamah Tetap Arbitrase (Permanen Court of Arbritation) di Den Haag, Belanda. Pembatalan tersebut mulai muncul ketika secara resmi Australia mengakhiri perjanjian Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS) berisi pembagian persediaan minyak dan gas bumi.
Seperti diketahui, Timor Leste menandatangani perjanjian CMATS dengan Australia pada 2006 yang mencakup lading gas Greater Sunrise yang terletak di kedua negara tersebut. Dalam perjanjian tersebut juga diatur batas maritim Laut Timor yang berlaku selama 50 tahun sehingga dengan pembatalan perjanjian ini, mnegharuskan kedua negara untuk merundingkan batas permanen kembali.
- Indonesia dan Pihak asing
Tidak sedikit regulasi hukum di Indonesia yang mendapat respon negatif dari pelaku usaha asing, salah satunya adalah pembalan perjanjian antara perusahaan RI dan perusahaan asing. Pembatalan ini dilakukan oleh Mahkamah Agung karena perjanjian terebut dibuat dengan menggunakan bahasa inggris. MA mengatakan bahwa pihaknya bukan menolak bahsa Inggris atau bahasa asing, tetapi ketika pihak asing mengajukan perkara di Indonesia, maka sesuai dengan UU tahun 2009 pasal 31 ayat 1 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan yang mengatur penggunaan Bahasa Indonesia dalam hukum acara di peradilan.
Demikian perjanjian internasional dan contoh kasusnya, semoga bermanfaat.