Salam semangat penulis sampaikan untuk para pembaca. Beberapa waktu lalu kita telah membahas ciri-ciri budaya politik partisipan di Indonesia dan contohnya. Pastinya pembaca dapat lebih memahami tentang apa itu budaya politik partisipan dan contoh penerapannya di Indonesia. Setelah membahas di dalam lingkup nasional, mari kita bergerak ke arah yang lebih luas, yaitu dunia Internasional. Pada kesempatan ini, penulis akan menyampaikan uraian terkait asas perjanjian internasional. Sebuah topik yang menarik bukan? Mengingat saat ini kita berada di tengah era globalisasi dimana arus informasi, barang, dan jasa menjadi lebih besar dan sulit terbendung sehingga perjanjian internasional adalah solusi terbaiknya.
Dari beberapa alinea penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, kita telah mengetahui pengertian perjanjian internasional berikut serba-serbinya. Pada pemaparan selanjutnya, kita akan membahas terkait hal yang menjadi dasar dari perundingan, perumusan, dan pelaksanaan perjanjian internasional. Dasar, landasan, atau asas adalah suatu hal yang penting bagi penyelenggaraan suatu kegiatan atau perjanjian, karena dengan adanya asas ini, suatu hal dapat menjadi adil bagi pihak-pihak yang terkait. Adanya asas-asas dapat mengikat para pihak yang berkepentingan agar tetap menaati ketentuan yang berlaku di antara mereka.
Pengertian Perjanjian Internasional
Sebelum lebih jauh membahas tentang asas-asas hukum publik internasional, alangkah baiknya jika kita memahami terlebih dahulu arti dari perjanjian internasional itu sendiri. Banyak pakar politik internasional yang memberikan pandangannya terkait definisi perjanjian internasional, namun mari kita lihat definisi perjanjian internasional menurut yang tertera dalam Statuta Mahkamah Internasional Pasal 38 ayat (1) yaitu perjanjian internasional ialah suatu sumber utama bagi sumber-sumber hukum internasional lainnya. Dari definisi yang telah disebutkan tadi, kita dapat memahami bahwa perjanjian internasional adalah sumber hukum tertinggi dari hukum internasional. Selain itu, perjanjian internasional tidaklah mudah dalam proses pembuatannya. Terdapat tahapan perjanjian internasional yang sangat rumit yang harus dijalani demi memenuhi kepentingan bersama dari negara-negara yang terlibat. Tahapan-tahapan tersebut yaitu penjajakan, perundingan, perumusan masalah, penerimaan, dan penadatanganan perjanjian.
Perjanjian internasional ini terbagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral. Perjanjian bilateral adalah perjanjian internasional di antara dua negara yang memiliki kepentingan bersama, sedangkan perjanjian multilateral adalah perjanjian di antara lebih dari dua negara yang memiliki suatu konsentrasi permasalahan tertentu dan biasanya mengatur tentang hal-hal yang bersifat umum (law making treaties). Contoh dari perjanjian bilateral yaitu perjanjian antara Indonesia dan India pada bidang pertahanan dan ekonomi (2011), sedangkan contoh perjanjian multilateral yaitu Konvensi Wina yang mengatur tentang hubungan diplomatik di antara negara-negara (1961).
Lantas, apa sajakah asas-asas dari perjanjian internasional tersebut. Di bawah ini penulis akan menyampaikan uraian terkait asas-asas perjanjian internasional. Terdapat enam asas perjanjian internasional yang harus ditaati oleh negara-negara yang menjadi subyek perjanjian internasional. Berikut ini adalah uraian asas dalam perjanjian internasional, silakan disimak penjelasannya:
1. Pacta Sunt Servanda
Pacta Sunt Servanda adalah asas pertama yang harus diterima dan dilaksanakan oleh negara-negara subyek perjanjian internasional. Asas ini dapat juga disebut sebagai asas kepastian hukum jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia. Karenanya, asas ini mengharuskan negara-negara yang terlibat dalam perjanjian internasional untuk senantiasa menaati ketentuan, keputusan, ketetapan, dan kesepakatan yang tertera dalam dokumen perjanjian internasional. Apabila terdapat negara atau pihak yang tidak menaati isi dari asas-asas perjanjian internasional, maka negara atau pihak lain yang merasa kepentingan dirinya dicederai dapat mengadukan negara yang melanggar tersebut kepada mahkamah internasional untuk nantinya diadili oleh mereka.
Contohnya sebagai berikut: bentuk sanksi yang diperoleh oleh negara pelanggar dapat bervariasi sesuai dengan beratnya pelanggaran. Sanksi yang paling ringan adalah negara yang melanggar tersebut diharuskan kembali menaati perjanjian yang telah ia langgar sebelumnya, sedangkan sanksi terberat yang mungkin dihadapkan pada pihak pelanggar adalah ia dikeluarkan dari keanggotaan PBB yang dapat menyebabkan ia dikucilkan dari pergaulan internasional.
2. Egality Rights
Egality Rights secara harfiah dapat diartikan kesamaan hak-hak. Namun, secara internasional dapat dipahami bahwa egality rights adalah suatu asas kesamaan derajat. Asas ini menuntut semua pihak yang terlibat dalam perjanjian internasional setara derajatnya. Tidak boleh ada perbedaan derajat yang dapat menyebabkan kesenjangan dalam perjanjian internasional. Baik negara maju maupun negara berkembang, mereka mempunyai hak dan derajat yang sama di dalam perjanjian internasional. Asas ini muncul karena trauma masa lalu yang berasal dari terjadinya perang dunia pertama dan kedua serta masa penjajahan dari bangsa-bangsa barat jauh sebelum itu. Negara yang dijajah dicederai haknya karena negara yang menjajah merasa martabatnya lebih tinggi dari para pribumi.
Contohnya sebagai berikut, dengan adanya asas ini, maka isi dari perjanjian internasional akan bersifat berkeadilan bagi semua pihak yang terlibat. Asas ini jugalah yang menjadi pengerat keakraban dalam hubungan di antara negara-negara yang menjadi subyek perjanjian internasional. Tentunya setiap negara akan merasa derajat dan harkat martabatnya dihargai di dunia internasional dengan adanya asas kesamaan derajat atau egality rights ini. Mereka akan lebih percaya diri ketika memperjuangkan kepentingan bersama yang berkeadilan.
3. Reciprocity
Dalam bahasa fisika mungkin kita dapat mengartikan reciprocity sebagai besarnya aksi sama dengan besarnya reaksi. Namun dalam konteks perjanjian internasional, reciprocity biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi asas timbal balik. Asas ini mengharuskan bahwa dalam perjanjian internasional, semua pihak yang terlibat memiliki keuntungan yang sama dalam asas-asas perjanjian internasional yang mereka berada di dalamnya tersebut. Jika terdapat ketimpangan kepentingan atau keuntungan yang terjadi selama perencanaan, maka negara yang merasa dirugikan dapat memperjuangkan haknya untuk mendapat keuntungan yang sama, dan pihak lainnya harus mendukung negara yang dirugikan tersebut untuk menemukan win win solutions alias penyelesaian masalah yang berkeadilan.
Artikel Lainnya:
- Peran Indonesia di Dunia Internasional
- Ciri-ciri Globalisasi di Dunia beserta Pengaruhnya
- Pengertian Konvensi dan Contoh-contohnya
4. Bonafides
Bonafides, sebuah istilah dari bahasa Latin yang diserap ke dalam bahasa Inggris dan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi itikad frasa yang baik atau niat yang baik, jadi kita simpulkan saja bahwa bonafides berarti asas itikad baik. Sesuai asas ini, perjanjian internasional haruslah berdasarkan itikad baik yang muncul dari nurani bangsa-bangsa yang terlibat dalam perjanjian internasional. Dengan adanya itikad baik, maka nantinya semua tahapan perjanjian internasional akan dilaksanakan dengan baik pula. Itikad baik pula yang nantinya akan menjadi penyelesaian masalah apabila terjadi situasi yang tidak terduga atau tidak diinginkan. Niat baik di antara negara yang menjadi subyek perjanjian internasional juga akan mengeratkan hubungan diplomatik di antara mereka semua.
5. Courtesy
Asas kelima dalam perjanjian internasional adalah courtesy atau asas kehormatan. Asas ini mengharuskan negara-negara yang terlibat dalam perjanjian internasional untuk saling menghormati. Saling menghormati disini berarti menghormati semua hal dari negara lainnya selama hal tersebut tidak melanggar perjanjian internasional dan aspek turunannya. Sudah sepantasnya setiap negara saling menghormati karena seperti yang telah diwajibkan dalam asas egality rights, semua negara sama derajatnya dalam perjanjian internasional.
6. Rebus sic Stantibus
Satu lagi istilah dalam bahasa Latin yang muncul sebagai asas perjanjian internasional. Asas Rebus sic Stantibus dapat dimaknai sebagai suatu asas yang mengizinkan penangguhan atau perubahan pada perjanjian dengan alasan yang fundamental atau mendasar. Asas ini diatur dalam konvensi Wina, yaitu pada seksi 3 (pengakhiran atau pengakhiran perjanjian internasional). Alasan yang fundamental ini contohnya yaitu kesepakatan semua pihak, tujuan perjanjian telah tercapai, terjadi pelanggaran perjanjian, dan sebagainya.
Demikianlah asas-asas dari perjanjian internasional yang dapat penulis sampaikan dalam kesempatan ini. Semoga pembaca dapat dengan mudah memahami serba-serbi perjanjian internasional.