Rule of law merupakan sebuah doktrin yang muncul sejak abad ke-19 bersamaan dengan lahirnya negara konstitusi dan demokrasi. Kemunculan rule of law ini merupakan sebuah reaksi dan koreksi terhadap bentuk negara yang absolut sebelum itu. Satjipto (2006 : 14) mengungkapkan bahwa kehadiran rule of law ini adalah sebuah necessary evil atau ‘sesuatu yang buruk tapi harus terjadi’. Mengapa demikian? Apa sebenarnya rule of law ini? Apakah ada ciri-ciri rule of law yang perlu diketahui?. Di artikel kali ini kita akan membahas lengkap mengenai ciri-ciri rule of law beserta pengertiannya secara lengkap. Simak terus, ya!. Rule of law dapat diartikan sebagai ‘kekuasaan sebuah hukum’. Hal ini merupakan sebuah tradisi dari hukum barat yang memprioritaskan equality before law atau kesamaan di mata hukum.
Ungkapan ini sering juga digambarkan dengan government by law and not by men. Dengan kemunculan rule of law, terwujud kebebasan bagi individu, serta tercipta masyarakat yang demokratis dengan adanya kepastian hukum yang sarat dengan kepentingan sosial dan temporal masyarakat industrialis-kapitalis sehingga sering tidak sesuai dengan kondisi riil kekinian. Oleh karena itu, muncullah ketidakpuasan dan kritik untuk menyempurnakan rule of law. Menurut Moch. Mahfud MD (1999 : 27), rule of law dianut oleh negara-negara yang memiliki tradisi Anglo Saxon yang bertumpu pada sistem common law. Adapun ciri-ciri yang ada dalam rule of law adalah sebagai berikut:
- Adanya Supremasi Aturan-aturan Hukum
Dengan supremasi aturan-aturan hukum, tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang. Artinya, seseorang baru boleh dikenakan sanksi hukum jika memang dirinya melakukan pelanggaran hukum. Hukum reguler bersifat superior dan mutlak, bertentangan dengan segala pengaruh kekuasaan yang sewenang-wenang, serta mencabut hak prerogatif atau bahkan kekuasaan bertindak yang besar di pihak pemerintah. Supremasi hukum ini bisa dilihat sebagai sebuah unsur utama yang menjadi dasar terciptanya masyarakat yang demokratis dan adil. Jika hukum bisa benar-benar ditegakkan, tidak akan ada kecenderungan pihak yang kuat bisa bersikap sewenang-wenang dan pihak yang lemah menerima ketidakadilan.
- Adanya Kesamaan Kedudukan Di Depan Hukum
Semua orang, baik masyarakat biasa maupun pejabat negara berkedudukan sama di hadapan hukum. Maka, seluruh lapisan masyarakat harus memiliki ketundukan yang setara kepada hukum umum negara yang dijalankan oleh Mahkamah hukum umum tanpa terkecuali. Pihak yang lemah bisa dicabut haknya, bukan karena pihak yang kuat lebih berhak, melainkan karena pihak yang lemah memang melakukan kesalahan. Hukum memegang otoritas tertinggi dan semua warga negara, termasuk para pejabat pemerintahan, tunduk pada hukum dan sama-sama memiliki hak untuk dilindungi.
- Adanya Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Undang-undang atau keputusan pengadilan menjamin adanya perlindungan untuk hak asasi manusia. Terdapat karakteristik HAM yang bersifat universal dan harus diakui oleh setiap negara di dunia. Jaminan akan perlindungan hak asasi manusia ini tertuang dalam beragam instrumen hukum HAM yang diakui oleh masyarakat internasional. Ada berbagai doktrin yang memberi ciri-ciri sebuah negara hukum seiring dengan semakin berkembangnya konsep negara hukum, baik di negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon maupun sistem hukum Eropa Kontinental.
Jika dalam sistem hukum Anglo Saxon negara hukum umumnya disebut sebagai Rule of Law, lain halnya di negara dengan sistem Eropa Kontinental. Di negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, negara hukum disebut sebagai Rechstaat. Menurut Frederich Julius Stahl, yang merupakan seorang ahli hukum Eropa Kontinental, ciri sistem hukum Eropa Kontinental atau Rechtstaat memiliki ciri-ciri seperti berikut ini:
- Adanya hak asasi manusia.
- Terdapat pemisahan atau pembagian kekuasaan yang berguna untuk menjamin hak asasi manusia. Pemisahan ini biasa dikenal dengan istilah Trias Politica.
- Pemerintahan didasarkan pada peraturan.
- Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Beberapa ciri negara hukum yang disebutkan di atas, dalam penerapannya di berbagai negara demokrasi modern, secara keseluruhan umumnya dapat dilaksanakan. Namun, seringkali teori berbeda dengan praktiknya, atau law in the book berbeda dengan law in action. Terjadi penyimpangan-penyimpangan antara hukum yang telah dibuat sebagai fungsi rule of law dengan kenyataan yang terdapat intervensi kekuasaan atas pelaksanaan hukum. Hal ini bisa terjadi karena adanya gagasan tentang welfare state (negara hukum material) yang didorong oleh sejumlah faktor akibat ekses industrialisasi dalam sistem kapitalis, paham sosialisme yang menginginkan adanya pembagian kekayaan secara merata dan kemenangan beberapa partai sosialisme di Eropa.
Berbeda dengan gagasan hukum formal yang tidak mengizinkan pemerintah ikut campur dalam kegiatan masyarakat, gagasan negara hukum material justru menuntut pemerintah untuk ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah dituntut untuk berperan aktif. Selain itu, ruang lingkup dari demokrasi pun diperluas hingga ke bidang sosial dan ekonomi, tidak hanya terbatas pada perlindungan hak sipil dan politik saja. Dibutuhkan adanya sebuah sistem yang bisa menguasai kekuatan ekonomi yang bisa memperkecil ketimpangan sosial dan ketidakmerataan distribusi kekayaan di masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan untuk turut mencampuri berbagai kegiatan masyarakat dengan membuat regulasi, penetapan dan materiale daad. Maka, dengan hal tersebut perumusan kembali ciri-ciri rule of law dipandang perlu. Perumusan kembali ciri-ciri dari rule of law akhirnya dihasilkan dalam International Commission of Jurist pada konferensinya di Bangkok pada tahun 1965 yang di dalam rumusan tersebut berisi ciri-ciri negara demokratis dengan rule of law yang dinamis atau negara hukum material, antara lain:
- Terdapat perlindungan konstitusional. Artinya, segala konstitusi selain yang menjamin hak-hak individu harus juga menentukan cara atau prosedur untuk mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
- Badan kehakiman bebas dan tidak memihak kelompok manapun.
- Adanya kebebasan untuk menyampaikan pendapat.
- Pemilihan umum berjalan dengan bebas.
- Terdapat kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi.
- Pendidikan kewarganegaraan.
Dengan alasan di atas, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqqie, S.H., merumuskan kembali dua belas prinsip pokok negara hukum (Rechstaat) yang sesuai dengan zaman sekarang. Dua belas prinsip rule of law ini menjadi pilar utama yang menyangga tegaknya sebuah negara modern yang menamakan dirinya negara hukum. Dua belas prinsip pokok itu adalah:
- Supremasi hukum (Supremacy of Law).
- Persamaan dalam hukum (Equality before the Law).
- Asas legalitas (Due Process of Law).
- Pembatasan kekuasaan.
- Organ-organ eksekutif independen.
- Peradilan bebas dan tidak memihak, yang merupakan esensi dari sebuah sistem hukum kota. Institusi peradilan harus bisa bertindak bebas dalam menentukan keputusannya.
- Peradilan tata usaha negara.
- Peradilan tata negara (Constitutional Court).
- Perlindungan hak asasi manusia.
- Bersifat demokratis (Democratiche Rechstaat).
- Memiliki fungsi sebagai saranan mewujuddkan tujuan bernegara (Welfare Rechstaat).
- Transparansi dan kontrol sosial.
Di Indonesia, rule of law diterima begitu saja sebagai satu-satunya pemikiran hukum. Padahal, dalam kenyataannya hukum yang diterapkan sendiri tidak mencerminkan keadilan sosial dan tidak dekat dengan masyarakat. Dari situ mulai bermunculan tawaran untuk mulai mempertimbangkan konsep hukum lain yang dinilai lebih dinamis, seperti rule of justice, rule of social justice, rule of moral, atau rule of Pancasila dalam rangka menciptakan hukum yang lebih adil dan memihak.
Mochammad Mahfud MD (1999 : 139) menyatakan bahwa konsep negara hukum di Indonesia merupakan konsepsi sistetis dari beberapa konsep yang memiliki tradisi hukum berbeda, seperti rechstaat, rule of law, negara hukum formal dan negara hukum material, yang selanjutnya diwarnai dengan nilai-nilai Indonesia sehingga menjadi negara hukum Pancasila dengan ciri-ciri demokrasi Pancasila yang lebih khusus. Konsep seperti ini, meskipun telah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia sendiri, juga memiliki resiko adanya perdebatan akan konsep negara hukum dengan acuan yang berbeda yang terkadang tidak berjalan beriringan.
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 hingga saat ini, realisasi negara hukum masih jauh dari yang dicita-citakan oleh pendiri negara. Dari berbagai kekurangan pemerintahan di masa lalu dalam menegakkan hukum di Indonesia, pemerintahan di rezim Orde Baru disebut sebagai pemerintahan yang paling gagal. Bukan hanya gagal, bahkan rezim tersebut secara langsung maupun tidak dinilai menginjak-injak hukum, mengabaikan hukum, menyalahgunakan hukum dan merekayasa hukum sebagai upaya pemerintah Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya.
Oleh karena itu, menurut MD Kartaprawira (2000), bukan lagi rule of law yang berlaku untuk menuntut tegaknya keadilan dan perlindungan hak-hak sosial dan politik dari pelanggaran-pelanggaran baik yang dilakukan oleh penguasa maupun warga. Akan tetapi, segala peraturan hukum yang berlaku memiliki tujuan untuk mengabdi kepada kepentingan penguasa dan pembenaran atas tindakan-tindakannya yang anti demokrasi, anti nasional, anti keadilan dan anti HAM. Di rezim Orde Baru itu hukum menjadi alat untuk mendominasi politik, mengendalikan dan ikut campur dalam lembaga-lembaga negara dan partai politik agar tidak mengancam kekuasaannya.
Sementara itu, di era Reformasi keadaan menjadi sedikit lebih baik. Kebebasan untuk berorganisasi dan berpolitik mulai memiliki tempat di masyarakat. Lembaga hukum tidak lagi dalam kendali penuh pemerintah. Kasus-kasus yang melibatkan mantan pejabat pemerintah pun mulai diadili meskipun akhir untuk penyelesaiannya belum menggembirakan. Di antara fenomena yang paling menyita perhatian belakangan adalah praktik suap yang dilakukan pada hakim dan jaksa dalam penanganan perkara yang banyak terjadi. Keterlibatan para penegak hukum dalam kasus suap dan korupsi menjadi fakta yang tidak lagi bisa ditutupi dan menunjukkan kebobrokan penegakan hukum di negara kita.
Dari pembahasan artikel kali ini tentang ciri-ciri rule of law dan bagaimana penerapannya di Indonesia diharapkan bisa membuka mata kita mengenai keadaan penegakan hukum di Indonesia. Kedudukan hukum sebagai pilar utama pembangunan bangsa, jika diabaikan dan diciderai, maka pembangunan bangsa ini pun akan bisa terbengkalai. Semoga artikel ini bermanfaat, ya!