Didalam catatan sejarah kemerdekaan Indonesia maupun dalam sejarah perkembangan Indonesia, negara Indonesia sendiri sempat berada pada masa-masa kerajaan. Dimana banyak kerajaan yang berdiri dan juga berkuasa di seluruh wilayah Indonesia, salah satunya adalah kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram merupakan salah satu kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada sekitar abad ke 17 di Indonesia.
Kerajaan Mataram ini juga sempat mengalami masa kerajaan dimana berhasil menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura, terlebih lagi juga sempat memerangi VOC yang berkuasa dalam aspek perdagangan di Batavia sebagai salah satu tujuan bangsa Belanda datang ke Indonesia. Namun justru pada masa-masa akhir kejayaan kerajaan Mataram, pada akhirnya justru VOC yang banyak memberi bantuan. Salah satu yang menandakan keruntuhan dari kerajaan Mataram ini adalah dengan adanya perjanjian Giyanti. Perjanjian Giyanti sendiri memberikan beberapa dampak penting pada sejarah kerajaan Mataram, beberapa dampak perjanjian Giyanti akan dibahas dalam ulasan berikut ini.
Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti merupakan suatu perjanjian yang dilakukan oleh pihak kerajaan Mataram dan pihak Belanda. Dimana dari kerajaan Mataram sendiri diwakili oleh Pangeran Mangkubumi dan Sunan Pakubuwana III, sedangkan dari pihak Belanda diwakili oleh VOC. Dalam perjanjian ini, Pangeran Sambernyawa tidak di ikut sertakan, dimana sebagai pemimpin pemberontakan dan pesaing dari Pangeran Mangkubumi dalam perebutan kekuasaan kerajaan Mataram. Latar belakang perjanjian Giyanti sendiri diawali dari adanya keinginan dari Pangeran Mangkubumi untuk melawan pemberontakan terhadap kerajaan Mataram dimana dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa.
Perjanjian Giyanti ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755, dimana menjadi penanda berakhirnya Kesultanan Mataram secara de facto dan de jure. Nama Giyanti sendiri diambil dari lokasi ditandatanganinya perjanjian tersebut, yaitu di Desa Giyanti atau yang sekarang berada di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, Jawa Tengah. Dilihat dari hasil perjanjiannya, setidaknya terdapat 9 poin penting didalmnya yang telah disepakati atau disetujui oleh kedua belah pihak. Satu hal penting yang menandakan perjanjian Giyanti ini adalah adanya kondisi dimana kerajaan Mataram dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah sebelah timur dan wilayah sebelah barat.
Isi dari perjanjian Giyanti dapat disimpulkan menjadi beberapa hal, diantaranya seperti:
- Adanya perjanjian mengenai hak dan pembagian kekuasaan Kerajaan Mataram sebelum sepenuhnya berakhir.
- Adanya kesepakatan mengenai kerjasama dan hak serta kewajiban antara pihak kesultanan dan VOC.
- Adanya kesepakatan mengenai perjanjian perdagangan maupun penentuan harga bahan-bahan makanan antara pihak kesultanan dan VOC.
- Adanya kesepakatan mengenai pematuhan atau pelaksanaan segala perbedaan perundingan dan perjanjian yang diadakan oleh pengusa Mataram dengan VOC sejak periode sebelumnya.
Itulah beberapa inti dari isi perjanjian Giyanti yang mengandung 9 Pasal dan Penutup. Lantas bagaimana dengan dampak dari perjanjian Giyanti setelah berhasil disepakati kedua belah pihak dan ditandatangani? Mari simak penjelasan berikutnya.
Dampak yang Ditimbulkan
Perjanjian yang berhasil menumpas seluruh pemberontakan terhadap Kesultanan Mataram dan VOC tersebut ternyata juga memberikan beberapa dampak penting, terutama bagi Kesultanan atau Kerajaan Mataram itu sendiri. Beberapa dampak yang ditimbulkan diantaranya adalah:
- Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua bagian wilayah
Dampak yang paling terlihat dari adanya perjanjian Giyanti adalah adanya kondisi dimana Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua bagian. Kedua bagian tersebut adalah wilayah di sebelah timur Sungai Opak diserahkan pada pewaris takhta Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III yang ikut serta dalam proses pembuatan perjanjian, wilayah ini tetap berkedudukan di Surakarta.
Sedangkan bagian satunya adalah wilayah di sebelah barat sebagai daerah asli dari Kerajaan Mataram, dimana diserahkan pada Pangeran Mangkubumi dan sekaligus diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana I, wilayah ini berkedudukan di Yogyakarta. Kondisi tersebut dapat disimpulkan pula sebagai salah satu dampak dari perjanjian Giyanti yang menandakan keruntuhan Kerajaan Mataram yang sebenarnya telah independen.
- Pelemahan kekuatan penguasa lokal
Masih berhubungan dengan dampak yang pertama dimana kekuasaan Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua bagian, perjanjian Giyanti juga berdampak pada melemahnya kekuatan penguasa lokal. Dimana pelemahan kekuasaan ini juga sebagai dampak atau akibat dari pembagian contoh kekuasaan federatif menjadi dua bagian tersebut.
Hal ini disebabkan karena pembagian kekuasaan tersebut menyebabkan penyempitan wilayah, sehingga hegemoni dari kedua kerajaan tersebut juga menjadi lebih terbatas. Belum lagi walaupun sudah dibagi menjadi dua bagian, namun kontrol VOC masih lebih kuat hingga dapat mengontrol atau mengatur kedua kerajaan. Sehingga kondisi lokal juga terpengaruh dan lebih di kuasai oleh VOC.
- Memberi kekuasaan lebih pada VOC
Dampak terakhir yang juga sangat berpengaruh adalah bahwa perjanjian Giyanti justru lebih memberi kekuasaan kepada VOC. Posisi VOC di kedua wilayah juga lebih kuat, hal ini dapat dibuktikan dari isi perjanjian Giyanti Pasal 3 dan 4, dimana sebelum setiap pemegang kekuasaan kesultanan menjalankan tugas nya harus melakukan sumpah setia pada VOC terlebih dahulu, dalam mengangkat pengurus kerajaan juga perlu persetujuan dari VOC. Belum lagi dengan beberapa perjanjian akan kesetiaan dan kesepakatan dalam menaati perjanjian yang sebelumnya telah dibentuk, dan lain sebagainya.
Demikian penjelasan mengenai dampak perjanjian Giyanti, dimana dapat disimpulkan bahwa perjanjian Giyanti berdampak pada keruntuhan kerajaan Mataram yang terbagi menjadi dua bagian, penurunan kekuasaan lokal, dan juga posisi VOC yang justru semakin menguat dan berpengaruh kepada kedua kerajaan tersebut. Dampak yang ditimbulkan tersebut juga dapat dilihat dari 9 Pasal yang dihasilkan dalam isi perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755 tersebut.