Perkembangan teknologi di era milenium ini begitu pesat kemajuannya. Terutama di bidang teknologi komunikasi dan informasi. Hal ini dapat kita rasakan sendiri dengan banyaknya perangkat keras dan perangkat lunak yang mendukung komunikasi serta penyebaran informasi yang begitu cepat. Portal berita dapat diakses melalui banyak media, entah itu televisi, laptop, ataupun ponsel genggam. Banyak sekali informasi yang berseliweran di media-media itu dan salah satu berita yang hampir selalu ada setiap hari dan umumnya diperhatikan oleh mayoritas penduduk Indonesia adalah berita tentang kasus korupsi. Apa yang dimaksud dengan korupsi itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi, orang lain, atau kelompok tertentu. (Baca juga: Membangun Karakter Bangsa)
Sesungguhnya banyak perbuatan yang termasuk dalam korupsi, diantaranya yaitu memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dana, pemerasan ketika menjabat, dan lainnya. Kalau mau dirunut lebih jauh lagi, terlambat secara sengaja dan menyontek ketika ujian juga termasuk dalam korupsi. Lantas, mengapakah para pejabat bisa melakukan korupsi? Guy J Parker dalam artikelnya yang berjudul “Indonesia 1979: The Record of Three Decades” (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980: helm 123) menyatakan bahwa kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri merupakan faktor yang paling menonjol dalam merata dan meluasnya korupsi di Indonesia. Faktor lainnya adalah kurangnya pengawasan dan penegakkan hukum. (Baca juga: Penyebab Korupsi dan Cara Mengatasinya)
Korupsi jelas termasuk dalam kategori kejahatan. Seperti kejahatan pada umumnya, korupsi muncul bukan hanya karena ada niat dari pelakunya, namun juga karena adanya kesempatan. Adanya pejabat atas yang kurang memperhatikan pekerjaan bawahannya, kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah, proyek yang melibatkan dana rakyat dalam kuantitas besar, lemahnya ketertiban hukum, penegak hukum yang kurang tegas, dan kurangnya kebebasan rakyat dalam melaporkan tindak korupsi, menyebabkan korupsi tumbuh subur di Indonesia.
Artikel lainnya:
Suburnya korupsi di Indonesia membawa pengaruh yang sangat buruk bagi negeri ini. Korupsi mempengaruhi sektor politik negeri ini, ia mempersulit pelaksanaan demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (Good Governance) dengan cara menghancurkan proses birokrasi. Korupsi terjadi saat pemilihan umum pelaksana pemerintahan dan anggota perwakilan rakyat. Hal ini tentu saja mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di ranah pembuatan kebijaksanaan yang pro rakyat. Korupsi yang terjadi di sistem penegakkan hukum juga dapat membuat para pelaku kejahatan lolos dan tidak teradili. (Baca juga: Dampak Korupsi bagi Negara)
Korupsi juga membuat pembangunan ekonomi di Indonesia menjadi sulit berkembang. Dalam sektor industri, korupsi meningkatkan biaya yang dikeluarkan pelaku usaha karena munculnya kerugian karena penyuapan ketika negosiasi dengan pejabat korup. Pada sektor publik, korupsi pejabat membuat dana pemerintah diinvestasikan ke proyek-proyek masyarakat yang lebih menguntungkan mereka. Akibatnya, kesejahteraan rakyat pun menurun. Jurang antara yang kaya dan yang miskin semakin besar. (Baca juga: Pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM)
Korupsi di Indonesia yang terus berkembang secara tersistem, membuat banyak pihak menggalakkan pemberantasan korupsi. Antara tahun 1951-1956, isu korupsi mulai diperbincangkan melalui koran lokal oleh Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Mereka mewartakan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani, menteri luar negeri Indonesia saat itu. Hal ini membuat koran yang mereka pandu (Indonesia Raya) menjadi dibredel. Kedua jurnalis itu juga dipenjara pada tahun 1961. (Baca juga: Penyebab Utang Luar Negeri)
Saat ini, pemberantasan korupsi dilaksanakan oleh beberapa institusi, yaitu Tim Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, Kejaksaan, dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Adanya institusi pemberantasan dan tindak pidana korupsi ini tentunya tidak terlepas dari asal mula mereka, yaitu amanat dari beberapa landasan hukumnya. Artikel ini akan membahas 9 landasan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Berikut daftarnya:
Artikel lainnya:
1. TAP MPR RI No. XI/MPR/1998
Salah satu ketetapan MPR RI ini berisi tentang Penyelanggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ketetapan ini memiliki posisi lebih dibandingkan dengan ketetapan MPR lainnya. TAP ini berisi cita-cita reformasi yang mengharapkan Indonesia bersih dan bebas dari KKN. Inti dari ketetapan ini adalah bahwa untuk menghindari praktisi-praktik KKN, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat. (Baca juga: Fungsi APBN)
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
Aturan ini berisi tentang Penyelanggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ia dibuat sebagai amanat dari TAP MPR RI No. XI/MPR/1998. Hal yang diatur dalam UU ini adalah asas-asas umum penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Masyarakat memiliki hak untuk mendapat transparansi dalam hal penyelenggaraan negara. Diatur pula sebuah komisi yang bertugas untuk memeriksa kekayaan (Baca juga: Lembaga Pelaksana Kedaulatan Rakyat).
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Undang-undang ini berisi tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini juga dibuat atas amanat TAP MPR RI No. XI/MPR/1998. Undang-undang ini secara lengkap membahas tindakan apa saja yang termasuk dalam korupsi beserta pidananya. Bahkan, mereka yang secara tidak langsung membantu para pelaku korupsi juga dapat dikenai pidana. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan korupsi serta peran masyarakat dalam pemberantasan korupsi juga diatur dalam Undang-undang ini. (Baca juga: Fungsi MPR)
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Undang-undang ini membahas tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pembukaannya, dengan adanya UU ini diharapkan dapat lebih menjamin kepastian hukum, menghindari adanya keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil merata dalam memberantas tindak pidana korupsi. Terdapat banyak pasal yang diubah dan disisipkan pula pasal tambahan. (Baca juga: Peranan Mahasiswa dalam Pemberantasan Korupsi)
5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Isi UU ini adalah tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adanya UU ini tidak lepas dari amanat UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001. Di dalamnya diatur hal-hal terkait tugas, wewenang, dan kewajiban KPK. Diatur pula tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi, tempat kedudukan, tanggung jawab, dan susunan organisasi. Selain itu, hal-hal teknis seperti penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, rehabilitasi, kompensasi, dan ketentuan pidana juga diatur. (Baca juga: Proses Peradilan Pidana)
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1999
PP ini mengatur tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara. Karena menyangkut hal-hal teknis, dipilihlah PP sebagai sumber hukum yang mengatur hal ini. PP ini mengatur tentang teknis pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara, hubungan antara komisi pemeriksa dan instansi terkait, dan pengambilan keputusan terkait hasil pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara. PP ini mulai diberlakukan semenjak 20 November 1999 hingga sekarang.
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1999
PP ini berisi tentang Persyaratan Tata Cara Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa. Dalam PP ini, ditentukan bahwa anggota komisi pemeriksa ditetapkan dengan keputusan Presiden dan terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon anggota komisi pemeriksa. Terdapat pula proses seleksi hingga terpilih minimal 20 orang anggota. Masa jabatannya adalah selama 5 tahun. Pemberhentian dan penggantian anggota komisi antarwaktu serta pengangkatan dan pemberhentian komisi pemeriksa di daerah juga diatur dalam PP ini.
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1999
Isi dari PP ini adalah tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa. Mengingat perannya yang vital dalam pemberantasan korupsi, komisi ini perlu dipantau dan dievaluasi. Dua hal ini dilakukan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, namun pemantauan ini juga tetap memperhatikan independensi komisi pemeriksa. Pemantauan dilakukan dengan cara laporan tertulis tiap 6 bulan, laporan insidental, dan rapat kerja yang dilaksanakan minimal 2 kali setahun. Evaluasi dilakukan dengan meminta rencana kerja tahunan dan hasil pelaksanaan tugas komisi pemeriksa serta melakukan perbandingan antara keduanya. (Baca juga: PresidenTugas Fungsi dan Wewenang Presiden dan Wakil Presiden)
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1999
PP ini membahas Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. PP ini dimaksudkan untuk membuat masyarakat memiliki peran aktif untuk ikut serta mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, yang dilakukan dengan menaati norma hukum, moral, dan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Ada beberapa bentuk peran serta masyarakat yang mungkin dilakukan, yaitu mencari, memperoleh, dan memberi informasi mengenai penyelenggaraan negara, memperoleh pelayanan yang sama dan adil, menyampaikan saran dan pendapat terhadap penyelenggaraan negara, dan memperoleh perlindungan hukum dalam pelaksanaannya.
Semua landasan hukum di atas sebenarnya sudah dilakukan semenjak tahun 1999, setahun setelah reformasi. Tentunya kita bertanya-tanya, seberapa efektifkah aturan-aturan tersebut diberlakukan? Apakah semua pihak telah berlaku seperti yang diharapkan oleh aturan-aturan yang “diharapkan” dapat memberantas korupsi ini?
Transparency International merilis data Corruption Perceptions Index bahwa Indonesia pada tahun 2016 ada di peringkat 90 dari 176 negara di dunia, turun dua peringkat dibanding pada tahun 2015, yaitu peringkat 88. Untuk di tingkat ASEAN, Indonesia menjadi negara dengan tingkat korupsi tertinggi ke-7 setelah Filipina. Lebih jauh lagi, pada tahun 2000, Indonesia ada di peringkat 88 dari 91 negara, pada 2001 ada di peringkat 96 dari 102 negara, pada tahun 2002 ada di peringkat 122 dari 133 negara, pada tahun 2003 ada di peringkat 137 dari 159 negara, dan ada di peringkat 130 dari 163 negara pada tahun 2004. (Baca juga: Peran Indonesia dalam ASEAN)
Data di atas menunjukkan bahwa tindak korupsi yang diketahui masyarakat trennya selalu naik turun di tiap tahunnya. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa upaya pemberantasan korupsi bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan. Walaupun 9 landasan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia yang digunakan sudah begitu lengkap, namun pada pelaksanaannya mungkin saja terjadi banyak penyimpangan sehingga masih banyak tindak korupsi yang terjadi. (Baca juga: Nilai-Nilai Pendidikan Karakter)
Sebagai warga negara yang baik, kita haruslah bisa berperan aktif dalam upaya pemberantasan korupsi sesuai dengan kemampuan kita. Ada banyak upaya yang dapat kita lakukan, mulai dari bersikap jujur, adil, dan bijaksana di setiap kesempatan, selalu merasa bersyukur dengan apa yang kita punya. Kita juga harus mengajak orang lain agar ikut serta dalam pemberantasan korupsi. Semoga nantinya Indonesia dapat menjadi negara yang bebas dari korupsi. Semoga artikel 9 landasan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia dapat bermanfaat.