Bangsa Eropa pertama kali datang ke Indonesia sekitar abad ke 16. Di mulai dari Bangsa Portugis, Spanyol, baru terakhir Belanda, termasuk juga Inggris ketika berhasil menguasai Belanda. Tujuan kedatangan Bangsa Spanyol ke Indonesia, tujuan bangsa Portugis ke Indonesia, sampai tujuan Bangsa Belanda datang ke Indonesia sama: gold, glory, dan gospel, kemudian dengan cepat berubah menjadi penguasaan atas tanah harapan di segala bidang. Mereka menjajah bangsa tempat tujuan.
Dari semua negara Eropa, Bangsa Belanda yang terlama berada di Indonesia. Mereka mulai masuk dari wilayah Banten dan sedikit demi sedikit menguasai tanah Indonesia dari Barat sampai ke Timur. Namun, penguasaan tersebut bukan hal yang mudah. Penjajahan Belanda harus dibayar mahal. Tidak sedikit pengorbanan harta dan nyawa yang mereka keluarkan. Itu karena rakyat Indonesia tidak mau menyerah begitu saja terhadap Belanda.
Selama sekitar 3,5 abad menguasai Indonesia, selama itu pula perlawanan terjadi.Di Banten tempat Belanda pertama kali datang, di Batavia (Jakarta tempo dulu), di seluruh bagian Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Sumatera. Perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda termasuk yang terlama. Perlawanan yang berlangsung beberapa generasi dan membuat Belanda kehabisan semua yang dimilikinya, sampai akhirnya Aceh benar-benar dikuasai. Untuk mengetahui lebih dalam tentang perang Aceh, maka artikel kali ini akan membahas tentang latar belakang Perang Aceh, mengapa sampai terjadi perlawanan di Aceh.
Perlawanan Rakyat Aceh
Banyak perang sebelum kemerdekaan Indonesia, di antaranya Perang Aceh atau perlawanan rakyat Aceh termasuk ke dalam perlawanan terlama yang harus dihadapi Belanda. Perang ini berlangsung kurang lebih selama 30 tahun. Waktu yang sangat panjang, karena melibatkan 2 generasi. Belanda sendiri hampir kehilangan akal, hingga mengutus Snouck Hurgonye yang terkenal sebagai sosiolog untuk menyusup di kalangan rakyat Aceh. Snouck ini bertugas mempelajari budaya Aceh dan menpelajari Islam, sekaligus mengetahui kelemahannya sehingga Belanda dapat mengalahkan rakyat Aceh dan pimpinannya. Perlawanan rakyat Aceh ini dibagi menjadi 4 periode. Empat periode tersebut dijelaskan di bawah ini.
1. Periode Pertama (1873 – 1874)
Perode pertama Perang Aceh dipimpin langsung oleh Sultan Mahmud Sah sebagai penguasa Kesultanan Aceh saat itu. Sultan Mahmud Sah bahu membahu memimpin perlawanan rakyat Aceh bersama dengan Panglima Polim. Belanda pada saat itu dipimpin oleh Jendral Kohler. Awal pecahnya Perang adalah adanya Traktat Sumatera, yang akan kita bahas dalam latar belakang Perang Aceh.
Setahun Perang Aceh dimulai, Jendral Kohler tewas. Tepatnya 14 April 1873. Tewasnya Jendral Kohler membuat Belanda semakin marah dan melipatgandakan penyerangan. Serangan terutama ditujukan kepada Kesultanan Aceh yang dianggap menolak kedatangan Belanda sekaligus menjadi penyebab tewasnya Jendral Kohler.
2. Periode Kedua (1874-1880)
Jendral Kohler digantikan oleh Jendral Jan Van Switen di Aceh. Dengan tewasnya Kohler Belanda semakin gelap mata. Serangan demi serangan dilancarkan langsung pada Kesultanan Aceh. Hingga pada akhirnya pada tanggal 26 Januari 1874, sekitar 10 bulan setelah tewasnya Kohler, Kesultanan dikuasai Belanda. Aceh dijadikan bagian dari wilayah Belanda. Sampai akhir tahun 1880 perlawanan terus berkobar. Orang-orang di sekitar Sultan yang tidak setuju dengan dikuasainya Aceh terus melakukan perlawanan. Belanda belum benar- benar menguasai Aceh. Mereka hanya dapat berkuasa di dalam istana.
3. Periode Ketiga (1881 – 1896)
Perang Aceh periode tiga berlangsung lebih lama. Di sini dikenal banyak pemimpin perlawanan Aceh yang kemudian disebut sebagai pahlawan Nasional dari Aceh. Selain Panglima Polim dan Sultan Mahmud Sah, di antaranya ada Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, dan Cut Nyak Dien. Banyak lagi pahlawan Aceh yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Pemimpin Aceh yang disebutkan namanya di atas, tidak memimpin perlawanan terhadap Belanda dalam satu periode. Teuku Cik Di Tiro memimpin perjuangan. Ketika beliau tidak ada, Teuku Umar maju menggantikannya. Dan ketika Teuku Umar meninggal dalam perang di Meulabaoh, isterinya Cut Nyak Dien menggantikannya. Perjuangan Cut Nyak Dien sendiri berlangsung dalam waktu cukup lama. Sampai akhir Belanda tidak berhasil menundukkan pejuang wanita ini. Atas bantuan seorang penghianat, Belanda dapat membunuh Cut Nyak Dien.
4. Periode Keempat (1896 – 1910)
Setelah Cut Nyak Dien tewas di tangan Belanda, perjuangan meredup namun tidak benar-benar selesai. Berbagai perlawanan kecil dari rakyat Aceh masih terus berlangsung. Hanya saja kali ini tidak ada komando dari Kesultanan Aceh.
Pada tanggal 26 November 1902, Belanda berhasil menemukan persembunyian Sultan Muhammad Daud Syah yang menggantikan Sultan MAhmud Syah. Tahun berikutnya Panglima Polim dan Raja Keumala meyerah. Rakyat masih melawan sendiri-sendiri di wilayahnya masing-masing. Sekitar tahun 1910, Belanda berhasil menguasai seluruh Aceh.
Latar Belakang Perang Aceh
Tidak seperti wilayah jajahan lain di Indonesia, Aceh awalnya bukan dan tidak boleh dimasuki oleh Belanda. Dunia internasional zaman itu sudah mengakui Kesultanan Aceh sebagai negara merdeka. Namun ada beberapa latar belakang yang menyebabkan Belanda menginginkan Aceh menjadi wilayahnya dan menjadi latar belakang Perang Aceh. Alasan tersebut diuraikan secara singkat antara lain di bawah ini.
1. Aceh Merupakan Wilayah Strategis
Pada awal abad 19, Pulau Sumatera memang menjadi wilayah yang sangat strategis. Wilayah ini merupakan tempat singgah pelayaran dan perdagangan internasional. Berabad sebelumnya Kerajaan Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi kerajaan nusantara dari wilayah ini. Maka, ketika Kesultanan Aceh Berjaya, kerajaan ini menjadi penguasa wilayah di Sumatera dan sekitarnya.
Dapat dibayangkan berapa banyak keuntungan didapat dari wilayah yang menjadi pusat pelayaran dan perdagangan. Tidak hanya keuntungan secara meteri. Dengan menguasai wilayah pelayaran berarti juga berbagai kemudahan. Ini yang dipikirkan oleh Bangsa Belanda. Oleh karena itu, timbul niat Bangsa Belanda untuk meluaskan kekuasaannya sampai Kesultanan Aceh. Pengakuan bangsa-bangsa dunia atas keberadaannya menjadi sangat penting. Semua rempah dan perdagangan lain yang dikuasai dapat mudah terangkut jika Kesultanan Aceh dikuasai.
Namun sayangnya semua rakyat dan pihak Kesultanan Aceh tidak mau menerimanya. Ini menjadi salah satu latar belakang Perang Aceh secara tidak langsung.
2. Wilayah Sumatera lain yang Menjadi Wilayah Belanda
Selain Aceh merupakan wilayah yang sangat strategis, pada masa itu hampir seluruh Sumatera telah dikuasai oleh Belanda. Setelah Perang Padri berakhir, pada tahun 1830an, Belanda berhasil menguasai daerah Sibolga dan Tapanuli. Terakhir, Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat, Asahan, dan Serdang kepada Belanda.
Padahal wilayah tersebut sejak Sultan Iskandar Muda berkuasa di Aceh menjadi wilayah kekuasaan Aceh. Dengan demikian kesultanan Aceh menganggap Belanda telah melanggar Traktat London yang mengatur batas wilayah kedua negara di Asia Tenggara tersebut dengan garis lintang Singapura. Setiap kapal Belanda yang melewati perairan Aceh ditenggelamkan kesultanan. Diserahkannya wilayah terdekat Aceh kepada Belanda oleh Sultan Ismail menjadikan Belanda terus menyerang Aceh yang wilayahnya sudah terdesak.
3. Dibukanya Terusan Suez
Pada tahun 1869, Terusan Suez yang mengubungkan dua benua, Asia dan Afrika resmi dibuka oleh negara Mesir. Pembukaan jembatan penghubung tersebut membuat dunia perdagangan dan pelayaran menjadi semakin ramai. Pulau Sumatera, khususnya Aceh menjadi gerbang pembuka menuju Selat Malaka dan terusan Suez. Aceh menjadi satu-satunya wilayah di Sumatera yang belum dikuasai secara penuh oleh Belanda. Tentu saja dengan pembukaan Terusan Suez, posisi Aceh menjadi semakin strategis. Keinginan Belanda bertambah besar untuk mneyerang Aceh dan menjadikan wilayahnya sebagai tanah jajahan. Masa imperialisme dan ciri-ciri ideologi kapitalisme, dimana negara-negara Barat bergerak mencari tanah baru sebagai wilayah jajahan sedang mencapai puncaknya.
4. Belanda Ingin Membentuk Pax Nederlandica
Setelah mendaratkan pertama kali armadanya di Banten tahun 1596, Belanda segera menguasai banyak bagian Indonesia sedikit demi sedikit. VOC dibentuk untuk melaksanakan seluruh kekuasaan Belanda. Namun, tahun 1799 VOC dibubarkan dengan berbagai alasan. Salah satunya kebangkrutan karena biaya perang yang mahal dengan rakyat Indonesia dan banyak oknum di VOC yang melakukan korupsi. Selanjutnya pemerintahan Belanda langsung turun tangan di Indonesia. Pemerintahan yang dikenal dengan sebutan Hindia Belanda.
Pemerintahan Hindia Belanda mulai membereskan satu demi satu masalah yang dibuat oleh VOC. Mereka memerintah dengan lebih tegas dan kejam. Belanda melaksanakan dan ingin membentuk Pax Nederkandica, sebuah wadah yang mewujudkan seluruh wilayah Indonesia menjadi satu kesatuan di bawah Belanda dan ratunya.
Pembentukan Pax inilah yang mendorong Belanda ingin juga menguasai Kesultanan Aceh dengan seluruh wilayah kerajaannya. Keinginan dan dorongan yang tentu saja bertentangan dengan keinginan rakyat Aceh yang ingin tetap merdeka. Mereka pastinya sudah mengetahui kondisi wilayah lain yang berada di bawah jajahan Belanda. Itu sebabnya ketika Belanda masuk dan datang ke Aceh mereka menolaknya. Perang Aceh tidak dapat dihindari.
5. Aceh Menolak Campur Tangan Belanda
Seperti yang sudah dilakukan di berbagai wilayah Indonesia lain, Belanda menggunakan cara adu domba untuk menguasai Indonesia. Adu domba atau politik devide et impera biasanya dimulai dengan campur tangan atau masuknya Belanda ke wilayah yang bukan wewenangnya. Dan yang paling awal dicampuri adalah wilayah kerajaan atau kesultanan. Ketika mereka masuk ke dalam wilayah kesultanan, sedikit demi sedikit mereka memasukkan pengaruhnya. Sedikit saja ada ketidakharmonisan di kalangan bangsawan atau bangsawan dengan rakyat, maka Belanda akan memanfaatkannya.
Masuk dan campur tangan Belanda ke dalam wilayah kesultanan juga membawa budaya mereka yang tidak sesuai dengan adat kebudayaan Timur dan Islam, agama yang dianut masyarakat Aceh. Ini juga membawa banyak pertentangan. Misalnya saja Bangsa Belanda berpakaian tidak menutup aurat sempurna, minum arak, dan berjudi. Ketiga hal yang sangat tidak sesuai dengan masyarakat. Jika seseorang sudah melakukan ketiganya, maka orang tersebut akan hilang akal. Tidak bisa lagi berpikir dengan jernih dan mudah terpancing emosinya.
Berdasarkan berbagai hal di atas, Aceh menolak campur tangan Belanda dalam kesultanan dan masyarakatnya. Campur tangan Belanda tidak akan membantu menyelesaikan masalah apapun, mungkin akan memperkeruh karena berbeda pandangan dan adat. Campur tangan Belanda juga akan merusak tatanan kehidupan masyarakat dan Islam. Selanjutnya, Belanda akan menguasai seluruh aspek kehidupan. Masyarakat Aceh sangat keras. Penolakan kedatangan Belanda sangat tegas. Hubungan dengan Belanda diharapkan hanya sebatas perdagangan dan muamalah saja
6. Adanya Traktat Sumatera
Telah disebutkan di atas, bahwa keberadaan kesultanan Aceh diakui dunia. Dunia megakui Aceh sebagai negara berdaulat penuh. Sebuah negara mandiri yang merdeka. Siapa saja dan negara mana saja berhak melakukan hubungan dengan Aceh. Pelayaran dan perdagangan yang terjadi di bawah kekuasaannya sangat ramai. Sebuah kegiatan yang sangat menguntungkan bagi masyarakat Aceh pada waktu itu. Traktat London, 17 Maret 1824 menegaskan posisi Aceh sebagai negara merdeka, di mana Belanda tidak berhak mengganggu kemerdekaan tersebut.
Namun, pada tanggal 17 Maret 1824, Inggris mengumumkan Traktat Sumatera. Traktat yang ditandatangani Inggris dan Belanda ini berisi sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa Inggris yang saat itu menguasai Belanda tidak akan menghalangi jika Belanda menginginkan perluasan wilayahnya sampai ke Sumatera bagian paling Barat atau Aceh. Belanda pada masa itu memang sudah menguasai hampir seluruh bagian Indonesia sekarang setelah berkuasa sekitar 200 tahun. Aceh menjadi wilayah yang masih merdeka dan menggiurkan dengan segala yang dimilikinya. Inggris sendiri akan memperoleh keuntungan jika Belanda menguasai Aceh.
Dengan adanya Traktat Sumatera, Bangsa Belanda beranggapan mereka bebas bergerak. Sudah lama mereka mengincar kesultanan. Namun, kedatangan dan campur tangan Belanda di Aceh ditolak menta-mentah. Maysrakat Aceh tidak mudah diadu domba seperti wilayah lain. Masyarakat sudah belajar banyak dari masuknya Belanda ke wilayah lain. Secara tegas golongan bangsawan yang berkuasa di kesultanan dengan dukungan rakyat Aceh dan ulama menolak kedatangan Belanda.
Akibatnya perang Aceh pecah. Selama puluhan tahun perang silih berganti dengan para tokoh yang memimpinnnya. Regenarasi kepemimpinan di Aceh berjalan sangat efektif, patah tumbuh hilang berganti atau mati satu tumbuh seribu. Tentara Belanda mengalami kelelahan dalam perang ini.
7. Hubungan Diplomatik Negara Aceh dengan Amerika, Turki, dan Italia
Ketika Traktat Sumatera diumumkan, Aceh langsung mengadakan persiapan. Awalnya Sultan meminta bantuan pada negara Turki, Italia, dan Amerika Serikat. Namun gerakan tersebut diketahui oleh Belanda. Mendengar berita tersebut, Belanda mempertanyakan hubungan tersebut kepada Sultan Mahmud Syah, namun Sultan menolak memberi keterangan.
Belanda langsung mengambil tindakan. Di bawah pimpinan Jenderal Kohler langsung mengultimatum Kesultanan Aceh untuk segera tunduk pada pemerintahan Hindia Belanda. Belanda mengumumkan perang terhadap Kesultanan Aceh, 26 Maret 1873. Ekspansi tersebut menuju jantung Aceh yaitu Kota dan membakar Masjid Raya Aceh.
Rakyat Aceh tidak tinggal diam. Dipimpin Sultan dan beberapa tokoh, seperti Panglima Polim, mereka menyiapkan ribuan pasukan di Aceh dan wilayah Pidie. Pos-pos pertahanan juga dibangun. Persiapan yang matang membuat Belanda tidak mudah menaklukan Aceh.
Tokoh Perang Aceh
Di dalam Perang Aceh tidak ada kisah bangsawan di adu domba oleh Belanda. Aceh telah mempersiapkan diri dengan matang menghadapi Belanda. Hanya dengan tipu muslihat dan penghianatan saja Belanda berhasil menguasai Aceh. Tipu muslihat dengan menyelundupkan seorang bernama Snouch Hurgonye ke tengah-tengah masyarakat. Memang Belanda terkenal sebagai bangsa yang melakukan berbagai cara untuk menguasai wilayah yang diincarnya.
Berkat bantuan dari dari Dr. Christian Snouck Hurgonye Belanda menjalankan berbagai taktik perang yang menjadi cikal bakal kekalahan Aceh. Taktik yang dilakukan antara lain :
- Terus menyerang dan menghantam kaum ulama
- Tidak berunding dengan pimpinan-pimpinan perang gerilya
- Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya yang sudah dikuasai
- Mengambil hati rakyat Aceh dengan mendirikan masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi, dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Banyak tokoh perang Aceh. Beberapa di antaranya mungkin tidak dikenal oleh rakyat Indonesia secara keseluruhan. Tetap saja perjuangan semua rakyat akan dikenang sepanjang masa. Mereka semua tetap pahlawan bagi Bangsa Indonesia.
Di antara tokoh pejuang dan pahlawan Aceh dapat dikenali di bawah ini.
1. Sultan Mahmud Syah
Sultan Mahmud Syah adalah penguasa Aceh ketika pertama kali Belanda menyerang Aceh. Sultan bersama Panglima Polim memimpin perang sengit melawan pasukan Belanda yang mendarat pertama kali di Aceh dengan kekuatan 8.000 pasukan. Namun, di perang ini Sultan dan pasukan mengalami kekalahan dan menyingkir ke Leungbata untuk membentuk pertahanan baru. Di sini Sultan menderita sakit dan wafat 28 Januari 1874. Sultan digantikan oleh anaknya yang masih kecil Muhamad Daud Syah didampingi Mangkubumi pimpinan Tuanku Hasyim.
Wafatnya Sultan MAhmud Syah tidak membuat perang berakhir. Perlawanan terhadap Belanda masih terus berlangsung di berbagai wilayah. Belanda hanya mampu menguasai istana dan daerah Sukaraja.
2.Tengku Cik Ditiro
Tengku Cik Ditiro merupakan seorang ulama yang lahir sekitar tahun 1836 dengan nama Muhammad Saman. Di bawah pimpinan beliau, rakyat Aceh pernah menyerang Belanda di Pulau Breuh dengan harapan mengusirnya dari Bumi Aceh tetapi gagal. Tengku Cik Ditiro terus berjuang setelah kegagalannya. Belanda yang kewalahan dengan perlawanannya berhasil membujuk seorang wanita Aceh untuk meracuni makanan beliau. Tengku Cik Ditiro akhirnya wafat 8 januari 1891 di Benteng Apeuk, Aceh.
3. Teuku Umar dan Cut Nyak Dien
Teuku Umar dan Cit Nyak Dien adalah ulama suami isteri yang memimpin perlawanan terhadap belanda di wilayah Aceh Barat. Mereka pernah menguasai wilayah Meulaboh dan sekitar pada tahun 1882.
Karena banyaknya perlawanan dan tewasnya dua jendral, Belanda menerapkan sistem Culurr Stelsel atau bertahan dalam benteng dalam Perang Aceh. Snock Hurgonye didatangkan pada masa ini. Ia menyamar dengan nama Abdul Gafar dan meneliti kebudayaan Aceh dan Islam.
Berkat Snorck Hurgonye, perlawanan rakyat Aceh sedikit demi sedikit dipadamkan. Teuku Umar gugur lebih dahulu pada tahun 1899. Isterinya menyusul beberapa tahun kemudian karena penghianatan seorang prajurit.
4. Cut Mutia
Aceh tidak hanya dikenal dengan perlawanan rakyatnya yang paling lama dalam melawan Belanda. Aceh juga melahirkan banyak pejuang wanita. Yang paling terkenal Cut Nyak Dien dan Cut Mutia.
Cut Mutia dan suaminya, Teuku Muhammad, melakukan perlawanan di Aceh Utara dan menjadi bagian perlwanan pada periode terakhir Perang Aceh. Teuku Muhammad kemudian ditangkap Belanda tahun 1905 dan dihukum mati di Pantai Lhoksemawe. Setelah itu, Cut Mutia menikah lagi dan ikut meneruskan perjuagan di bawah komando Tengku Muda Gantang.
Di hari-hari terakhir perlawanan rakyat Aceh, di mana Sultan sudah tertangkap dan Panglima Polim menyerah, Cut Mutia masih bergerilya dari hutan ke hutan. Ketika bentrok dengan tentara Belanda di Alue Kurieng yang dipimpin MArechausee, 24 Oktober 1904, Cut Mutia guur.
5. Panglima Polim
Panglima Polim bernama asli Sri Muda Perkasa Muhammad Daud. Gelar Panglima Polim IX disandang ketika menjadi panglima tentara perang Aceh menggantikan ayahnya.
Panglima Polim memimpin pasukan melawan Belanda sejak pertama kali Belanda menyerang. Ketika Sultan mahmud Syah wafat, beliau terus bergerilya. Tokoh adat dan ulama banyak mendukung perjuangannya. Beliau pernah bertempur bersama Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Puluhan tahun Perang Aceh dijalaninya tanpa kenal lelah. Baru setelah mendengar kabar tertangkapnya Sultan terakhir dan perlawanan Aceh berakhir, beliau menyerah.
Demikian artikel tentang latar belakang Perang Aceh. Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia menjadi sebuah perang perlawanan rakyat Indonesia yang berlangsung paling lama. Wilayah yang termasuk dikuasai paling akhir oleh Belanda. Oleh karena itu, banyak hikmah yang dapat diambil dari sini. Sebagai generasi selanjutnya atau generasi now, hendaknya dapat meneladani sikap rakyat dan pahlawan Aceh yang berjuang sampai penghabisan dalam mempertahankan haknya dan membela yang benar. Untuk menghormatinya, kita dapat ikut terus mengikuti upaya menjaga keutuhan NKRI dalam rangka menyegerakan terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Tujuan yang hanya dicapai dengan integrasi nasional, menghindari faktor pendorong disintegrasi bangsa, dan melaksanakancontoh Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga bermanfaat. Terimakasih.