Grasi secara singkat dapat diartikan sebagai suatu tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh pengadilan. Secara etimologi kata grasi berasal dari bahasa belanda “Gratie” yang memiliki makna sebagai anugrah atau rahmat. Menurut pasal 1 pada undang-undang Nomor 22 tahun 2002, grasi adalah hak yang dimiliki oleh presiden untuk memberikan pengampunan berupa pembebasan seseorang dari suatu hukuman yang diberikan kepadanya lewat keputusan hakim pengadilan atau tindakan untuk mengurangi hukuman tersebut atau mengganti hukuman yang dibebankan dengan sejenis hukuman lain yang sifatnya lebih ringan.
Grasi yang diberikan dengan tujuan untuk mengurangi hukuman atau masa tahanan di sebut dengan istilah remisi. Jika grasi diberikan dengan mengganti suatu hukuman dengan hukuman lain yang lebih ringan, maka tindakan tersebut dinamakan komutasi.
Penggolongan grasi
Grasi tidak digolongkan sebagai suatu upaya hukum, karena upaya hukum hanya terbatas sampai tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Grasi merupakan upaya non hukum yang berlandaskan pada hak yang dimiliki oleh seorang kepala negara. Konsep grasi digunakan oleh berbagi negara dalam usaha menegakan keadilan menghindari penyebab terjadinya tindakan penyalahgunaan kewenangan. Beberapa negara mengadopsi istilah yang berbeda yang merujuk pada pengertian yang sama. Di Amerika Serikat dan Filipina, grasi sepadan dengan pardon dan clemency. Spanyol menggunakan istilah pardon dan derecho de gracia (right of Grace) sementara di inggris grasi dapat muncul dengan istilah royal prerogative mercy atau clemency. Setiap negara memiliki ketentuan yang berbeda-beda dalam hal pemberian ampunan atau keringanan hukuman kepada terhukum.
Sejarah pemberian Grasi
Di masa lalu, grasi digunakan untuk melunakkan keadaan dimana hukum sulit untuk ditoleransi karena begitu keras dan kaku. Istilah pengampunan dalam konteks hukum pertama kali ditemukan dalam hukum perancis. Sejak dulu grasi telah ditetapkan untuk menjadi hak yang diberikan kepada seorang pemimpin. Presiden atau raja, dipandang memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dengan bijak dan adil.
Untuk itu hak pemberian grasi didasarkan pada wewenang toleransi atas dasar rasa kemanusiaan dan hak dan kewajiban warga negara dengan berbagai pertimbangan, entah itu untuk alasan yang sifatnya politik, ekonomi, sosial ataupun budaya.Pada masa yunani kuno yaitu pada tahun 403 SM, amnesti pertama diputuskan oleh Thrasybulus, yakni seorang jenderal tinggi Yunani dan diberikan kepada mereka yang telah dinyatakan bersalah karena mendukung lawan politiknya yang sebelumnya sudah ia gulingkan kekuasaannya. Mulai dari situlah konsep konsep mengenai grasi mulai dikembangkan.
Pemberian grasi sudah dikenal bahkan pada masa dimana kekuasaan seorang pemimpin adalah tidak terbatas dan absolut. Saat itu kaisar atau raja dianggap sebagai sumber dari segala kekuasaan dan kebijaksanaan termasuk dalam hal hukum dan peradilan. Pada masa pasca reformasi di Inggris, hak prerogatif kerajaan untuk memberikan pengampunan dipergunakan untuk tiga tujuan utama, yaitu:
- Sebagai bentuk pembelaan diri yang belum diakui.
- Untuk mengembangkan metode bagi para pelaku pelanggaran yang masalahnya belum diakui oleh undang-undang.
- Untuk menghilangkan diskualifikasi tuduhan kriminal.
Pro dan kontra grasi
Pada abad ke 18, pro dan kontra mengenai konsep pengampunan yang ditujukan bagi para tahanan mulai terdengar. Kasus-kasus pengampunan individu banyak ditentang oleh ahli filsafat dan ahli ilmu kejahatan dan didukung oleh para sarjana penganut aliran hukum. Salah satu kritikan yang terkenal dalam sejarah adalah kritikan dari Cesare Beccaria yang disampaikan melalui essai berjudul On Crimes and Punishment. Hak yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan untuk memberikan pengampunan kepada para pelanggar hukum dipandang sebagai sebuah ancaman besar bagi konsep pemisahan kekuasaan.
- Intervensi penguasa terhadap hukuman juga dianggap dapat menghilangkan efek jera hukum. Kritikan-kritikan ini menyebabkan grasi dipandang sebagai suatu tindakan yang menyebabkan ketidakpastian dan berhubungan dengan penyalahgunaan kekuasaan.
- Karena kritikan-kritikan itulah pada masa setelah revolusi Perancis, semua konsep yang berhubungan tentang kekuasaan pengampunan dalam konteks hukum dihapuskan.
- Namun, kemenangan pihak kontra tidak berlangsung lama, sebab kekuasaan untuk memberikan pengampunan kembali dimunculkan pada masa ketika Napoleon Bonaparte menjadi penguasa semur hidup.
- Pada masa pendudukan Belanda di Indonesia pun ketentuan mengenai pemberian grasi sudah diatur dengan sebutan Gratie Regeling yang dikeluarkan pada tahun 1933.
- Kemudian di tahun 1950 setelah Indonesia merdeka, dikeluarkan Undang-undang Grasi nomor 3 tanggal 1 Juli 1950. Dalam undang-undang tersebut tepatnya pada pasal 2, ditetapkan bahwa hukuman mati tidak dapat dilakukan sebelum adanya keputusan dan intruksi yang diberikan oleh presiden berupa fiat pelaksanaan. (baca : tugas, fungsi dan wewenang presiden dan wakil presiden)
Pemberian Grasi pada masa lalu cenderung berdasarkan inisiatif dari kaisar atau kepala negara sendiri sedangkan pada masa sekarang ini grasi dapat diberikan termasuk bila terhukum mengajukan permohonan.
Pemberian Grasi
Pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 14, disebutkan bahwa dalam memberikan grasi dan rehabilitasi, Presiden harus memperhatikan pertimbangan dari mahkamah agung. Sebelum dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945, presiden memiliki hak mutlak dalam memberikan grasi.Menurut Van Hattum, pemberian grasi tidak boleh lagi digunakan sebagai kemurahan hati dari seorang kepala negara. Menurutnya grasi haruslah digunakan sebagai alat untuk menghapuskan suatu ketidakadilan yang terjadi dalam pelaksanaan hukum. (baca : manfaat UUD Republik Indonesia)
Pernyataan ini mendukung konsep pembagian kekuasaan yang digagas oleh Montesquieu dalam teori Trias Politica.Dewasa ini grasi tidak lagi dipandang sebagai hadiah atau kemurahan hati pengusa sebab dalam proses pemberian grasi kini perlu keterlibatan dari berbagai pihak pejabat negara sebelum akhirnya diputuskan oleh Presiden berdasarkan pertimbangan dari pihak-pihak tersebut. Menurut prodjodikoro, wewenang pemberian grasi merupakan suatu pentuk penerobosan batas antara kekuasaan yang dimiliki pemerintah dengan kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga kehakiman.
Kebijakan adanya Grasi
Jika terpidana yang telah dijatuhi hukuman mati telah melakukan segala bentuk upaya hukum namun tetap mengalami kebuntuan, maka terhukum dapat berupaya untuk mengajukan grasi dengan harapan bahwa terhukum akan mendapatkan pengampunan yang dapat mengubah putusan hukuman mati menjadi putusan hukuman yang lebih ringan. Grasi bisa diberikan pada saat-saat tertentu. Misalnya adalah bagaimana setiap tanggal 17 Agustus Presiden selalu memberikan grasi kepada sejumlah narapidana berupa remisi. Remisi ini hanya diberikan kepada tahanan yang telah berkelakuan baik selama dalam masa tahanan. Alasan dibalik pemberian grasi pada tanggal kemerdekaan itu adalah agar para narapidana juga bisa merasakan semangat kemerdekaan yang sedang dirayakan oleh segenap rakyat indonesia.
Pemberian grasi oleh Presiden kepada narapidana dapat berupa:
- Peringanan atau pengurangan hukuman. Misalnya pemotongan masa tahanan yang harusnya dijalani selama dua puluh tahun, menjadi lima belas tahun saja.
- Penghapusan hukuman dimana pelaksanaan hukuman baik berupa denda maupun hukuman penjara yang sudah diputuskan oleh pengadilan ditiadakan.
- Perubahan jenis hukuman yang telah divoniskan. Misalnya perubahan hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup
Ada sejumlah alasan dalam hal pemberian grasi. Alasan ini memungkinkan presiden untuk bertindak memberikan grasi kepada seorang tahanan. Adapun alasan tersebut adalah:
- Bila pihak terhukum ternyata menderita penyakit parah yang tidak dapat disembuhkan.
- Ada sejumlah perkembangan yang belum dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim ketika menjatuhkan putusan.
- Jika terdapat kekurangan dalam peraturan perundang-undangan yang menyebabkan dalam suatu peradilan, hakim terpaksa menjatuhkan hukuman tertentu terhadap tergugat. Yang apabila hakim tersebut diberikan hak atau kekuasaan yang lebih besar maka hakim tersebut akan menjatuhkan hukuman yang lebih ringan terhadap yang bersangkutan.
- Grasi dapat diberikan jika terpidana telah selesai menjalani masa percobaaan dan pada masa tersebut terpidana dianggap pantas untuk menerima pengampunan karena berkelakuan baik.
- Terhukum pernah berjasa bagi masyarakatnya
- Adanya perubahan dalam tatanan kemasyarakatan atau kenegaraan .
- Ketika adanya suatu praktik ketidak adilan yang secara nyata ditunjukkan.
- Demi kepentingan keluarga terhukum
Landasan Hukum Pemberian Grasi
Indonesia merupakan negara yang patuh terhadap hukum dan mengikuti peraturan hukum yang telah dibuat. Sebelum terciptanya sebuah hukum yang sempurna, hukum juga memiliki landasan hukum terhadap pemberian grasi untuk meringankan hukuman pada tahanan yang memiliki masalah besar.
Berikut adalah penjelasan mengenai landasan hukum pemberian grasi :
[accordion]
[toggle title=”1. Landasan hukum pemberian grasi sebelum amandemen UUD 1945” state=”opened”]
Sebelum dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945, pemberian grasi sebagaimana diatur dalam pasal 14 UUD 1945 menyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan yang mutlak terhadap pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi. Dengan melihat pada ketentuan tersebut, presiden tidak memerlukan pertimbangan ataupun saran dari pihak manapun manakala memberikan pengampunan bagi terhukum dalam bentuk apapun. Dengan kekuasaan mutlak dalam hal pemberian pengampunan Presiden tampak seperti raja atau ratu yang memberikan grasi atas dasar kemurahan hati.
Seiring dengan berjalannya waktu grasi dipandang sebagai tindakan untuk menegakkan keadilan. Grasi dianggap sebagai jalan untuk mengkoreksi keputusan pengadilan yang dinilai kurang tepat dan kurang adil. Selain tujuan tersebut grasi juga harus dilakukan atas dasar kepentingan negara. Hukum konstitusi pada masa sebelum amandemen UUD 1945 tidak menjelaskan secara terperinci mengenai prosedur pengampunan, meski begitu sejumlah undang-undang dan peraturan mengenai grasi untuk mendukung UUD 1945 pasal 14 telah dibuat.
Berikut adalah peraturan yang mendukung UUD 1945 :
- Peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1947 berkenaan dengan tata cara pelaksanaan untuk mengajukan permohonan ampun kepada presiden.
- Peraturan pemerintah nomor 67 tahun 1948 dibuat untuk mengganti peraturan pemerintah sebelumnya yanng berkenaan dengan tata pelaksanaan untuk mengajukan permohonan ampun pada presiden. Undang-undang ini mengatur bahwa hanya hukuman yang diputuskan oleh pihak Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Kepolisian, Mahkamah Tentara Agung, Mahkamah Tentara dan lembaga pengadilan lainnya sebagaimana yang ditetapkan oleh menteri kehakiman yang bisa dimohonkan grasi. Selanjutnya juga diatur bahwa permohonan grasi dapat menunda hukuman mati, hukuman penjara termasuk hukuman kurungan pengganti namun tidak dapat menunda hukuman denda.
- Undang-Undang nomor 3 tahun 1950 tentang permohonan grasi. Undang-undang ini tidak banyak membahas mengenai ketentuan formal dalam hal memohonkan grasi, tapi lebih banyak mengatur ketentuan yang bersifat materil tana adanya ketentuan umum yang menjelaskan menegnai pendefinisian hal-hal yang diatur didalamnya.
- Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa permohonan grasi bisa diajukan oleh terpidana atas hukuman yang diputuskan dalam keputusan kehakiman, baik militer maupun sipil yang berkekuatan hukum tetap, namun tidak dijelaskan batasan-batasannya. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa semua jenis hukuman baik yang berat maupun yang ringan, yang berupa hukuman kurungan, hukuman denda maupun hukuman mati bisa dimohonkan grasi.
- Selanjutnya dalam undang-undang ini juga dijelaskan bahwa pengajuan grasi harus dilakukan oleh terhukum sendiri atau dibuat oleh pihak lain setelah mendapatkan persetujuan dari terhukum. Kecuali untuk hukuman mati, pengajuan grasi boleh dilakukan oleh pihak lain tanpa persetujuan terhukum, namun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai pihak lain yang dimaksudkan dalam undang-undang.
- Pada pasal lain dalam undang-undang ini terdapat pasal yang mengatur bahwa jika terhukum tidak mengajukan grasi dalam tenggang waktu yang sudah diberikan, maka Hakim atau ketua pengadilan dan kepala kejaksaan berhak mengajukan grasi karena jabatannya.
[/toggle]
[toggle title=”2. Landasan hukum pemberian grasi setelah amandemen UUD 1945“]
Setelah amandemen, kekuasaan presiden dalam hal pengampunan yang bersifat mutlak mengalami perubahan. Setelah mengalami amandemen UUD 1945 pasal 14 menyebutkan bahwa dalam memberikan grasi dan rehabilitasi presiden harus memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung, sedangkan dalam pemberian amnesti dan abolisi, presiden harus memperhatikan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Perubahan tersebut bertujuan untuk meningkatkan peranan lembaga yudikatif dan legislatif dalam mengawasi dan mengimbangi kekuasaan presiden.
Selanjutnya untuk mendukung perubahan tersebut, dibuatlah undang-undang baru mengenai pemberian grasi yaitu:
- Undang-undang nomor 22 tahun 2002, Undang-undang ini menjelaskan definisi grasi dan terpidana. Selain itu undang-undang ini juga memberikan batasan dan persyaratan untuk membuat permohonan grasi. Dalam UU ini disebutkan bahwa pemidanaan yang bisa dimohonkan grasi adalah pemidaan yang diputuskan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang terdiri atas pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 tahun. Undang-undang ini memberikan kepastian atas tata pelaksanaan pengajuan permohonan grasi yang tidak diberikan oleh perundang-udangan sebelumnya dan menghindari kemungkinan terhukum melakukan prektek curang untuk menghindari pelaksanaan hukuman.UU ini juga mengatur tentang kesempatan terpidana untuk mengajukan grasi yang tidak diatur dalam UU sebelumnya. Dalam UU yang baru, grasi hanya bisa diajukan satu kali, terhukum akan bisa mengajukan grasi untuk kedua kalinya jika ia memenuhi salah satu syarat berikut.
- Pernah ditolak permohonannya dan telah lewat waktu dua tahun sejak penolakan grasi pertama.
- Pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi penjara seumur hidup dan telah lewat waktu dua tahun setelah keputusan tersebut.
- Undang-Undang Nomor 5 tahun 2010. UU ini dibuat untuk mengubah sejumlah ketentuan yang tertulis pada UU nomor 22 taun 2002 mengenai grasi. Adapun alasan dilakukannya perubahan ini karena banyak permohonan grasi yang belum bisa diselesaikan pemerintah pada masa waktu dua tahun sejak UU grasi diundangkan. Salah satu faktor yang menyebabkan pemerintah tidak dapat menyelesaikan permohonan grasi dalam jangka waktu yang ditentukan adalah tidak terakomodirnya ketentuan mengenai batasan waktu pengajuan permohonan grasi bagi terpidana mati dalam UU nomor 22 tahun 2002. Hal tersebut menyebabkan pelaksanaan eksekusi menjadi tertunda sampai jangka waktu yang tidak terbatas
[/toggle]
[/accordion]
Prosedur permohonan Grasi
Dalam usaha mengajukan grasi ada sejumlah prosedur yang harus dilakukan. Berdasarkan pada Undang Undang Permohonan Grasi, prosedur permohonan grasi adalah sebagai berikut:
- Membuat surat permohonan grasi yang ditujukan kepada Presiden. Surat ini bisa dibuat langsung oleh terhukum atau oleh orang lain dengan persetujuan dari terhukum.
- Permohonan grasi harus diajukan selambat-lambatnya 14 hari setelah dijatuhkannya putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Sedangkan untuk hukuman mati, permohonan grasi bisa diajukan selambat-lambatnya 30 hari setelah putusan tersebut diberikan.
- Setelah menerima surat permohonan yang diajukan terhukum, panitera pengadilan harus mengirimkan surat tersebut beserta berita acara sidang, surat keputusan terhadap terhukum serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan kepada ketua pengadilan yang memutus pada tingkat pertama.
- Ketua pengadilan tersebut kemudian mengirimkan surat tersebut beserta pertimbangannya kepada kepala kejaksaan tinggi negeri yang menuntut pada tingkat pertama.
- Kepala Kejaksaan Negeri kemudian akan segera meneruskan berkas perkara beserta pertimbangannya tersebut kepada Mahkamah Agung. Dalam jangka waktu paling lambat 20 hari sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi.
- Mahkamah Agung segera mengirimkan berkas perkara tersebut bersama dengan semua pertimbangan yang diberikan kepada Menteri Kehakiman.
Mahkamah Agung dapat terlebih dahulu mengirimkan berkas tersebut kepada Jaksa Agung bila:
- Putusan pengadilan itu berkenaan dengan hukuman mati
- Mahkamah Agung membutuhkan saran atau pendapat dari Jaksa Agung mengenai kebijaksanaan penuntutan.
- Jaksa agung sebelumnya telah mengemukakan bahwa beliau ingin dimintai pertimbangan.
- Jaksa Agung kemudian mengirimkan berkas-berkas tersebut kembali beserta pertimbangannya kepada Mahkamah Agung untuk kemudian dilanjutkan ke menteri kehakiman
- Oleh menteri kehakiman Berkas tersebut beserta pertimbangannya kemudian diberikan kepada Presiden melalui Sekretariat Negara oleh menteri kehakiman.
- Setelah menerima berkas perkara, Presiden dapat kemudian memberikan keputusannya terkait dengan permohonan grasi yang diajukan. Keputusan presiden dapat berupa enerimaan atau penolakan permohonan grasi. Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
- Keputusan Presiden (Keppres) tersebut kemudian disampaikan kepada Menteri Kehakiman untuk dibuat petikannya dan kemudian agar diumumkan. Keputusan Presiden harus disampaikan kepada terpidana dalam janga waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak di tetapkannya keputusan Presiden.
Berikut adalah penjelasan mengenai salinan keputusan dan contoh pemberian grasi yang pernah di lakukan di Indonesia.
[accordion]
[toggle title=”1. Salinan Keputusan presiden dikirimkan kepada instansi-instansi terkait” state=”opened”]
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa yang diwajibkan (imperatif) atau diperbolehkan (fakultatif) memberi pertimbangan mengenai surat-surat permohonan grasi, adalah :
1. Imperatif, meliputi
- Hakim yang memutuskan tindak pertama
- Jaksa pada hakim tersebut
- Mahkamah Agung
- Mentri kehakiman
2. Fakutatif, meliputi
- Jaksa Agung (Kecuali jika terkait hukuman mati, maka pertimbangan Jaksa agung menjadi imperatif)
- Menteri-menteri yang lain (fakultatif)
[/toggle]
[toggle title=”2. Contoh Pemberian Grasi yang Pernah dilakukan“]
- Keputusan Presiden Nomor 22/G tahun 2012. Keputusan ini mengabulkan permohonan grasi Scaplle Leigh Corby warga negara Australia yang tersangkut kasus narkotika dengan memberikan pengurangan masa penahanan. Hukuman penjara yang sebelumnya diputuskan selama 20 tahun dikurangi menjadi 15 tahun. Corby divonis bersalah di Pengadilan Negeri Denpasar karena terbukti telah menyelundupkan 4,1 kilogram ganja di tahun 2004. Pemberian grasi dari Presiden SBY kepada Corby ini banyak menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat. Banyak pihak menilai bahwa presiden kurang serius dalam mendukung upaya pemberantasan narkoba di Indonesia namun tak sedikit juga yang mendukung pemberian grasi ini karena prosedurnya sudah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perundang-undangan.
- Keputusan Presiden Nomor 9/G tahun 2015. Keputusan Presiden ini berisikan penolakan permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana hukuman mati kasus narkotika “Bali Nine” asal australia, Andrew Chan. Selain Andrew Chan, terdakwa lain dalam kasus yang sama Myuran Sukumaran juga tak dapat lolos dari eksekusi karena perohonan grasinya di tolak oleh presiden Jokowi yang disampaikan lewat Keppres nomor 32/G tahun 2014. Lagi-lagi keputusan ini mengundang pro dan kontra. Sejumlah pihak menilai keputusan presiden sudah tepat karena mendukung upaya pemberantasan narkoba, di sisi lain keputusan ini dianggap tidak mencerminkan keadilan dan peri kemanusiaan karena merampas hak seseorang untuk hidup. Keputusan ini juga sempat membuat hubungan diplomasi antara Indonesia dan Australia menegang.
[/toggle]
[/accordion]
[accordion]
[toggle title=”Baca juga artikel ppkn lainnya :”]
- fungsi NATO
- bhinneka tunggal ika
- jenis jenis koperasi
- struktur komite sekolah
- tujuan ASEAN
- fungsi dewan keamanan PBB
- fungsi APBN
- fungsi majelis umum PBB
- jenis jenis pemilu
- budaya indonesia yang diakui UNESCO
- cara melestarikan budaya di Indonesia
- fungsi partai politik
- penyebab tawuran
[/toggle]
[/accordion]