Dalam konvensi banyak kita sebagai masyarakat masih belum tahu apa itu konvensi dan kegunaanya untuk apa bagi negara bangsa Indonesia ini. Pada artikel kali ini kita akan mencoba membahas mengenai pengertian dari konvensi dan contoh-contohnya yang sudah terbangun yaitu Republik Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa Negara Republik Indonesia memiliki dasar hukum tertulis (basic law) seperti yaitu Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dasar hukum tersebut masih berlaku hingga saat ini.
Pengertian Dari Konvensi
Konvensi berasal dari kata convention merupakan suatu aturan yang didasarkan pada kebiasaan. Pengertian konvensi dalam kebiasaan ini timbul dan dipelihara dengan baik dalam praktik ketatanegaraan suatu negara. Dalam pelaksanaannya, suatu konvensi tidak diatur dalam sebuah konstitusional. Dengan kata lain, konvensi merupakan suatu aturan yang diterima secara hukum oleh suatu negara dan dilakukan secara berulang-ulang meskipun tidak tertulis. Konvensi dilakukan untuk mengisi kekosongan hukum. Kekosongan yang dimaksud disini adalah mengatur atau memberikan arahan terkait penyelenggaraan negara dimana prosedur, kekuasaan atau suatu kewajiban belum ada dalam undang-undang tertulis. Berikut ini akan diuraikan tentang contoh – contoh konvensi baik nasional maupun yang internasional, diantarannya adalah:
- Konvensi Nasional
Salah satu jenis konvensi adalah konvensi nasional. Maksud dari konvensi nasional ini adalah dimana konvensi tersebut terjadi di suatu negara yang hanya melibatkan warga negara dan pemerintah negara itu saja:
- Upacara Bendera Setiap Tanggal 17 Agustus
Setiap tahun tepatnya pada tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia beserta seluruh rakyatnya melakukan upacara bendera sebagai peringatan hari kemerdekaan RI (Republik Indonesia). Tidak ada aturan tertulis yang mewajibkan diadakannya pelaksanaan upacara bendera ini. Namun, kebiasaan seperti ini sudah tumbuh sejak kemerdekaan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Upacara bendera ini dilakukan sebagai bentuk bakti kita kepada negara Indonesia dan menghargai para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa raganya guna merebut kemerdekaan RI. (Baca juga : Sejarah Kemerdekaan Indonesia)
- Pidato Presiden Tanggal 16 Agustus
Pada saat hari sebelum menjelang kemerdekaan atau satu hari mempersiakan kemerdekaan RI yaitu pada tanggal 16 Agustus 1945. Pada pidato yang akan diumumkan oleh Presiden RI waktu itu adalah lengkapnya sudah pidato buatan resminya yang diumukan langsung pada sidang Paripurna DPR. Hal ini telah dijadikan sebagai kebiasaan sejak era Orde Baru. Walaupun tidak ada aturan tertulis yang mewajibkan predsiden untuk berpidato resmi seperti ini, namun kebiasaan ini terus dilakukan dan dipelihara sampai sekarang.
Artikel terkait :
- Pemilihan Menteri oleh Presiden
Setelah presiden dan wakil presiden terpilih dalam suatu pemilu, keduanya akan memilih menteri untuk mengisi kabinetnya. Tata cara pemilihan calon-calon menteri ini tidak diatur secara tertulis dalam undang-undang. Mereka langsung menunjuk siapa saja yang akan berada pada kabinetnya. Meskipun demikian, pemilihan menteri tidak bisa asal-asalan. Presiden beserta wakilnya harus cermat dalam memilih sehingga menteri yang terpilih adalah orang yang tepat dan kompeten dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pemilihan menteri oleh presiden dan wakilnya merupakan suatu bentuk konvensi. (Baca juga : Tugas, Fungsi, dan Wewenang Presiden dan Wakil Presiden)
- Foto Presiden dan Wakil Presiden di Kantor Pemerintahan
Jika kita perhatikan, di setiap kantor pemerintahan selalu ada foto presiden dan wakil presiden yang sedang menjabat diletakkan secara berdampingan. Peletakan kedua foto ini di kantor pemerintahan tidak diwajibkan karena tidak ada aturan yang menulis tentang ketentuannya. Kebiasaan pemasangan kedua foto tersebut tetap dilakukan sampai sekarang. Hal ini dikarenakan kebiasaan seperti ini dianggap baik dan menunjukkan identitas pemimpim bangsa Indonesia. Selain itu, kebiasaan ini juga menunjukkan sikap nasionalisme dan patriotisme kita terhadap negara. (Baca juga : Pengertian Nasionalisme)
- Pemberian Grasi, Amnesti, Abolisi, atau Rehabilitasi
Pada hari kemerdekaan RI dan hari raya keagamaan dalam setiap tahunnya presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, maupun rehabilitasi secara serentak. Grasi merupakan pengampunan hukuman, amnesti adalah pernyataan yang ditujukan kepada orang banyak untuk tidak dijatuhi hukuman, abolisi merupakan penghentian pengusutan perkara, sedangkan rehabilitasi adalah pemulihan nama baik seseorang. Pemberian-pemberian ini merupakan hak prerogatif presiden terhadap setiap pidana.
Artikel terkait :
- Program 100 Hari Kerja
Setelah dilantik menjadi kabinet dalam suatu periode jabatan, presiden beserta jajaran kabinetnya menjalankan program 100 hari kerja. Program 100 hari kerja ini digembor-gemborkan oleh calon presiden dan wakil presiden menjelang pilpres pada saat kampanye guna mendapatkan simpati rakyat. Biasanya isi dari program 100 hari kerja adalah langkah-langkah konkret apa yang akan dilakukan oleh para calon guna mengatasi permasalahan yang terjadi di dalam negeri dan program-program apa saja yang akan dibuat guna meningkatkan kemakmuran rakyat. Secara konstitusi, tidak ada aturan yang mengatur program kerja ini. Namun, praktik seperti ini dilakukan sampai sekarang karena dinilai efektif untuk mengenalkan program kerja yang akan dilakukan oleh para calon presiden dan wakil presiden. (Baca juga : Sistem Pemilu di Indonesia)
- Menteri Non Departemen
Pada UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 Pasal 17 ayat (3) telah disebutkan bahwa “menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan”. Berdasarkan pasal tersebut berarti seorang menteri harus memimpin sebuah departmen. Namun, pada kenyataannya dalam praktik ketatanegaraan pada masa Pemerintahan Orde Baru terdapat jabatan setingkat menteri yang tidak membawahi sebuah departemen atau biasa disebut Menteri Negara Nondepartemen. Walaupun keberadaannya tidak akan mengubah isi dari UUD 1945, hal ini tentu saja tidak sesuai dengan konstitusional yang ada di Indonesia. Meskipun demikian, adanya Kementrian Nondepartemen ini sangat dibutuhkan guna menunjang kinerja pemerintah dalam era pembangunan ini. Hal ini terus dilakukan sampai sekarang sehingga praktik seperti ini dapat disebut sebagai konvensi.
Artikel terkait :
- Syarat Menjadi Presiden dan Wakil Presiden Menurut UUD
- Tujuan Pembangunan Nasional
- Konstitusi yang Pernah Berlaku di Indonesia
- Presiden RI Menjelaskan tentang RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara) Kepada DPR
Setiap tahunnya presiden RI menjelaskan RAPBN dihadapan DPR. Penjelasan ini biasanya dilakukan ole presiden pada bulan januari di minggu pertama. Tidak ada ketentuan secara tertulis tentang tindakan yang dilakukan oleh presiden ini. Dalam UUD 1945 Pasal 23 hanya dijelaskan bahwa “Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran yang tahun lalu”. Namun demikian, tindakan seperti ini sangat penting untuk dilakukan sebagai bentuk transparasi keuangan negara. Penjelasan ini tidak hanya di depan DPR saja melainkan dewasa ini sudah diketahui secara luas oleh masyarakat karena disiarkan melalui televisi. Oleh karena itu, tindakan presiden tersebut dapat dianggap sebagai konvensi. (Baca juga : Fungsi APBN)
- Pengambilan Keputusan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
Dalam pengambilan keputusan, lembaga tinggi negara MPR melaksanakan praktik musyawarah untuk mufakat. Langkah ini ditempuh guna mendapatkan keputusan yang terbaik. Pengambilan keputusan musyawarah ini tidak diatur secara tertulis, namun telah menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang hingga kini. Dengan demikian praktik musyawarah yang dilakukan oleh MPR disebut sebagai konvensi. (Baca juga : Manfaat Musyawarah)
Artikel terkait :
- Sistem Pemerintahan Presidensial
- Sistem Pemerintahan Indonesia pada Orde Lama
- Ciri Demokrasi Terpimpin
- Penyimpangan Pada Masa Demokrasi Terpimpin
- Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Pada tanggal 5 Juli 1956, Presiden Soekarno yang pada saat menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia mengeluarkan dekrit presiden yang berisi :
- Pembubaran Konstituante
- Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950
- Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Pengeluaran dekrit ini tidak diatur dalam peraturan tertulis, namun dikeluarkan oleh presiden guna menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia pada saat itu. Walaupun bukan merupakan kebiasaan, tindakan ini bisa disebut dengan konvensi.
- Konvensi Internasional
Berbeda dengan konvensi nasional, di dalam konvensi internasional yang terlibat adalah warga negara dan pemerintah dari seluruh negara yang terlibat dalam penandatanganan konvensi tersebut. Negara yang menandatangani konvensi internasional dapat bertambah seiring berjalannya waktu:
- Konvensi Jenewa 1949
Pada tahun 1949, di Jenewa Swiss dilaksanakan sebuah konvensi yang mengatur tentang korban perlindungan perang. Korban perang disini adalah warga sipil yang mengalami luka-luka atau warga yang berada di kawasan daerah konflik bersenjata menurut hukum humaniter internasional. Konvensi Jenewa dilaksanakan guna menanggapi dampak negatif dari Perang Dunia II yang terjadi pada tahun 1945. Hal ini perlu dilakukan untuk mengatur perilaku konflik bersenjata sehingga dampak perang dapat diminimalisir. Dan pada tahun 1977 telah dibuat Protokol Tambahan I dan II untuk melengkapi isi dari Konvensi Jenewa 1949. Protokol ini ditetapkan sebagai traktat internasional yang secara khusus meningkatkan perlindungan terhadap korban perang. Selain itu, traktat ini juga menetapkan aturan kemanusiaan untuk konflik bersenjata non internasional. (Baca juga : Blok Barat dan Blok Timur)
- Konvensi Wina 1969
Konvensi Wina 1969 atau Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 dilaksanakan atas prakarsa PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Konvensi wina 1969 digadang-gadang sebagai induk perjanjian internasional. Sebelum adanya konvensi ini, perjanjian internasional dilaksanakan berdasarkan kebiasaan internasional dan diputuskan oleh Mahkamah Internasional atau pendapat-pendapat ahli hukum internasional. Namun, adanya Konvensi Wina mengawali konvensi yang berisikan tentang perjanjian internasional. Tidak hanya hal-hal yang berbau teknis saja, melainkan hal-hal yang bersifat material atau kebiasaan internasional lain yang selama ini telah dilakukan diatur dalam Konvensi Wina.
Artikel terkait :
- Konvensi Berner
Pada tanggal 9 September 1986 telah dilakukan penandatanganan sebuah konvensi yang mengatur tentang perlindungan karya tulis dan artistik yang disebut Berner Convention. Penandatanganan ini dilakukan di Bern dengan jumlah anggota konvensi sebanyak 45 negara. Konvensi ini sebenarnya telah mengalami beberapa kali revisi yaitu :
- Revisi I : 4 Mei 1896 di Paris
- Revisi II : 13 November 1908 di Berlin
- Revisi III : 24 Maret 1914 di Bern
- Revisi IV : 2 Juni 1928 di Roma
- Revisi V : 26 Juni 1948 di Brussel
- Revisi VI : 14 Juni 1967 di Stocklom
- Revisi VII : 24 Juni 1971 di Paris.
Konvensi Bern mengatur perlindungan terhadap para pencipta atau pemegang hak atas hasil karya sastra dan seni yang mereka ciptakan dalam bentuk apapun.
- Universal Copyright Convention
Untuk melindungi karya seni dari orang yang tidak memiliki kewarganegaraan atau orang yang dalam pelarian maka dibuatlah suatu konvensi internasional yaitu Universal Copyright Convention. Konvensi tersebut diberlakukan mulai 16 September 1955. Salah satu alasan dilakukannya konvensi ini adalah tercapainya tujuan perlindungan hak cipta. Berbeda dengan Konvensi Bern yang sifatnya cenderung individualis karena hak cipta mutlak berada di tangan si pencipta, Universal Copyright Convention selain berupaya melindungi si pencipta juga mengupayakan batasan-batasan tertentu pemberian hak pencipta asli untuk kepentingan umum seperti dalam pendidikan, penelitian, dan ilmu pengetahuan.
Artikel terkait :
- Upaya Penyelesaian Pelanggaran HAM
- Penyebab Sengketa Internasional
- Hubungan Internasinal dan Organisasi Internasional
- Peran Indonesia di Dunia Internasional
- Paris Convention for Protection of Industrial Property
Konvensi yang diadakan di kota Paris (Prancis) ini merupakan salah satu bentuk konvensi tentang HAKI (Hak Kekayaan Intelektual). Dalam konvensi yang dilaksanakan pada tanggal 18 Maret 1883 ini dilakukan pembahasan terkait perlindungan hasil kekayaan industrial untuk rakyat suatu negara di negara-negara lain. Konvensi ini dikelola oleh WIPO (World Intellectual Property Organization) yang berkedudukan di Jenewa, Swiss. Untuk melindungi hasil kekayaan intelektual tersebut maka negara peserta mengajukan desain industri, merek dagang, paten maupun model utilitas untuk produk-produknya. Pada mulanya Konvensi Paris hanya ditandatangani oleh 11 (sebelas) negara, namun saat ini konvensi ini telah ditandatangani oleh 173 negara. Di Indonesia, Konvensi Paris ini kemudian disahkan dalam Keppres No. 24 Tahun 1979 dan pada tahun 1997 mengalami perubahan yang dituang dalam Keppres No. 15 Tahun 1997. (Baca juga : Fungsi WTO)
- Konvensi Internasional SOLAS
International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) merupakan sebuah konvensi yang dilaksanakan guna melindungi keselamatan kapal dagang. Konvensi yang diterbitkan pada tahun 1914 ini diterbitkan sebagai akibat tenggelamnya kapal RMS Titanic pada tanggal 15 April 1912 di Samudra Atlantik Utara. Isi dari konvensi ini adalah mengenai pengaturan jumlah peralatan keselamatan yang dibutuhkan untuk prosedur penyelamatan. Selain itu juga mengatur ketentuan pelaporan posisi kapal pada saat berlayar. Dalam perkembangannya, Konvensi Internasional SOLAS mengalami beberapa kali amandemen dan terakhir pada tahun 1974. Konvensi ini diratifikasi oleh Pemerintah RI (Republik Indonesia) melalui Keppres No. 65 Tahun 1980. Amandemen konvensi tersebut diadopsi oleh Komite Perlindungan Maritim IMO melalui ISPS (International Ship and Port Facility Security) Code, 2002. (Baca juga : Tugas dan Fungsi Angkatan Laut )
- Konvensi Opium Internasional
Untuk pertama kalinya pengertian konvensi dialakukan pengaturan pengawasan obat-obatan secara internasional adalah melalui International Opium Konvention (Konvensi Opium Internasional). Konvensi ini telah ditandatangani pada tanggal 23 Januari 1912 di Den Haag. Adapun isi dari konvensi ini berbunyi “Negara-negara penandatangan harus menggunakan kemampuan mereka untuk mengawasi semua orang yang membuat, mengimpor, menjual, mendistribusikan, dan mengekspor morfin, kokain, dan sejenisnya, juga bangunan dimana orang-orang ini melakukan industri atau perdagangan seperti ini”. Pada mulanya konvensi ini hanya ditandatangani oleh 13 negara, namun semakin meningkatnya peredaran narkotika di dunia internasional membuat beberapa negara lain juga menandatangani Konvensi Opium Internasional. Dalam perkembangan selanjutnya, narkotika mulai dilarang untuk dikonsumsi yang ditandai dengan dikeluarkannya Single Convention Narcotics 1961 (Konvensi Tunggal Narkotika 1961). (Baca juga : Bahaya Narkoba Bagi Generasi Muda)
- Convention on International Trade of Endangered Species Of Flora and Fauna (CITES)
CITES merupakan sebuah konvensi internasional yang ditandatangani di Washington D.C pada tanggal 3 Maret 1973. Konvensi yang ditandatangani oleh 21 negara ini bertujuan untuk mencegah dan membatasi adanya perdagangan internasional flora dan fauna yang tercancam kepunahan termasuk di dalamnya produk-produk yang dihasilkan oleh flora dan fauna tersebut. Mengingat sangat pentingnya keaneragaman satwa dan tumbuhan di ekosistem bumi maka selain mencegah perdagangan secara internasional, dalam konvensi ini juga diatur terkait langkah-langkah konservasi flora dan fauna tersebut. Hal ini dikarenakan spesies-spesius tersebut memiliki nilai penting seperti ilmu pengetahuan, budaya, wisata, dan ekonomi. Dengan demikian flora dan fauna yang ada masih bisa dimaksimalkan kegunaannya di masa yang akan datang. Dewasa ini, CITES telah ditandatangani oleh 173 negara di dunia. (Baca juga : Budaya Indonesia yang Diakui UNESCO)
Artikel terkait :
- Fungsi Dewan Keamanan PBB
- Fungsi Majelis Umum PBB
- Peran Indonesia dalam Organisasi ASEAN dan PBB
- Kerjasama ASEAN
- PCT (Patent Cooperation Treaty) and Regulation Under the PCT
PCT and regulation Under the PCT merupakan konvensi yang bertujuan untuk melindungi secara hukum terhadap hasil penemuan seseorang yang berkontribusi dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perlindungan yang dimaksud dilakukan dengan cara memberikan hak paten kepada sang penemu. Konvensi ini disahkah oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres No. 16 Tahun 1997.
Berdasarkan uraian di atas telah dijelaskan secara rinci pengertian konvensi dan contoh-contohnya baik yang dilakukan di lingkungan nasional maupun internasional. Semoga pembahasan ini membuat kita lebih memahami tentang konvensi beserta contohnya secara lebih mendalam.