Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara sangat penting maknanya sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dengan sangat jelas ditegaskan seperti dalam Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap MPR RI No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa). Dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara jo Tap MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Tap MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
Selain daripada itu Pancasila sebagai Ideologi Nasional Bangsa Indonesia merupakan hasil dari sebuah kesepakatan yang diambil bersama oleh para Founding Father (Pendiri Bangsa) yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Perjanjian Luhur” bangsa Indonesia. Di balik semua hal tersebut terdapat sejarah panjang dalam merumuskan sila-sila Pancasila seiring perjalanan ketata-negaraan bangsa Indonesia. Sejarah yang sungguh sensitif hingga apabila keliru dapat mengancam kedaulatan dan keutuhan bangsa dan negara. (baca juga: Upaya Menjaga Keutuhan NKRI). Berikut adalah penjelasan dari sejarah pancasila :
Perumusan Pancasila
Sebagai upaya dalam merumuskan Pancasila diantara anggota sidang yang diadakan sebuah badan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) memberikan usulannya didepan persidangan salah satunya. Antara beberapa rumusan banyak terdapat persamaan namun juga ada yang berbeda. Seperti rumusan yang dikemukakan oleh Moh Yamin, Ir. Sukarno, Piagam Jakarta, Hasil sidang BPUPKI, Hasil sidang PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959). (baca juga: Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan Sehari-hari)
Usulan Mohammad Yamin
Sidang yang digelar BPUPKI pertama kalinya dilaksanakan 29 Mei – 1 Juni 1945 di Jakarta. Ada beberapa anggota sidang yang diminta menyampaikan pendapatnya mengenai sebuah rancangan dan dasar negara (blue print). Di hari pertama sidang pleno BPUPKI digelar 29 Mei 1945, M. Yamin menyampaikan usulan berkenaan rancangan atau gagasan sebuah dasar-dasar negara sebagai bangsa yang merdek. Usulan tersebut berupa pidato dan juga tertulis yang kemudian dikenal dengan “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Indonesia”, berikut diantaranya Rumusan pidato yang disampaikan oleh Moh. Yamin:
- Peri Kebangsaan
- Peri Kemanusiaan
- Peri ke-Tuhanan
- Peri Kerakyatan
- Kesejahteraan Rakyat
Usulan Mr. Soepomo
Dalam sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945, Mr. Supomo mengemukakan beberapa pendapat mengenai rumusan dasar negara. Diungkapkan bahwa pemikiran tersebut merupakan penjelasan mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan dasar negara, yang mana hendaknya dasar negara dibentuk secara integralistik yang berdasarkan pada dasar-dasar berikut.
- Persatuan
- Kekeluargaan
- Keseimbangan lahir dan batin
- Musyawarah
- Keadilan rakyat
Usulan Ir. Soekarno
Ir. Soekarno dalam sebuah pidato spontannya pada 1 Juni 1945, mengemukakan pendapatnya mengenai dasar-dasar negara. Berikut dasar-dasar negara seperti yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno di dalam pidatonya, diantaranya:
- Kebangsaan (Nasionalisme);
- Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan;
- Mufakat;
- Kesejahteraan ;
- Ketuhanan.
Lima dasar negara yang diungkapkan oleh Ir. Soekarno dalam sebuah pidato saat berlangsungnya sidang BPUPKI tersebut dinamakan Pancasila. Yang kemudian oleh Dr. Radjiman pidato Ir. Soekarno tersebut diberi judul sebagai “Lahirnya Pancasila”. Kelima dasar tersebut kemudian oleh Ir. Soekarno diperas kembali hingga menjadi Trisila, sebagaimana berikut isinya:
- Sosio nasionalisme
- Sosio demokrasi
- Ketuhanan
Tiga dasar tersebut ternyata diperas kembali hingga tinggal menjadi satu dasar saja yang kemudian disebut Ekasila yakni Gotong royong.
Sidang BPUPKI yang Kedua
Selama reses atau jeda masa sidang antara 2 Juni hingga 9 Juli 1945, dibentuklah sebuah panitia kecil dari anggota BPUPKI yang memiliki tugas untuk menampung dan menyelaraskan semua usul-usul dari yang telah masuk dari anggota BPUPKI. Dari Panitia Kecil tersebut kemudian dipilih kembali sembilan orang anggota yang kemudian dikenal dengan nama Panitia Sembilan, untuk menyelenggarakan tugas tersebut. Dalam menentukan hubungan dasar negara dengan agama, terjadi perpecahan diantara anggota BPUPKI yakni golongan nasionalis dan golongan Islam. (baca juga: Manfaat Musyawarah dalam Kehidupan Sehari-hari)
Golongan nasionalis menghendaki bentuk negara skuler yang tidak bertumpu pada satu keyakinan saja, sedangkan golongan Islam menghendaki negara dengan bentuk teokrasi yang bertumpu pada keyakinan agama Islam. Diantara kedua golongan tersebut kemudian didapat sebuah persetujuan seperti yang tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”. Yang kemudian disebut sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. (baca juga: Peran Akhlak Dalam Pembentukan Karakter Bangsa)
Berikut intisari dari rumusan Piagam Jakarta tersebut yang ditujukan supaya semakin memperjelas persetujuan diantara kedua golongan dalam sidang BPUPKI, sebagaimana berikut:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi para pemeluk-pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beeradap
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesi
Pada 10-17 Juli 1945, BPUPKI melaksanakan sidang pleno yang kedua secara resmi membahas mengenai dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” atau Piagam. Dari dokumen Piagam Jakarta tersebut kemudian dibagi menjadi dua buah dokumen yang berbeda. Dokumen tersebut ialah Declaration of Independence (yang didapat dari perluasan paragraf 1-3 menjadi 12 paragraf), dan Pembukaan Preambule (yang merupakan naskah asli paragraf keempat).
Dalam rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 terdapat hasil yang sedikit berbeda dengan perrumusan Piagam Jakarta. Sebagaimana berikut: “… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” (baca juga: Pancasila sebagai Ideologi Tertutup Mengandung Arti)
PPKI (Panitia Pelaksana Kemerdekaan Indonesia)
Setelah BPUPKI menyelasikan tugasnya yang kemudian secara resmi dibubarkan pada 7 Agustus 1945 yang kemudian tugas-tugasnya dilanjutkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemedekaan Indonesia). Namun sehari setelah kemerdekaan diproklamirkan, wakil-wakil dari Indonesia timur atau Kaigun yakni Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan, yang diwakili oleh A. A. Maramis mengajukan keberatannya berkenaan dengan rumusan Piagam Jakarta yang menyatakan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. (baca jga: Penerapan Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat)
Keesokan harinya pada 18 Agustus 1945 dalam rapat pleno PPKI dikemukakan sebuah usulan yang diajukan oleh A.A Maramis yakni menghilangkan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Setelah melalui proses yang panjang dengan bermusyawarah kembali dengan anggota lainnya, untuk menjaga integrasi bangsa yang baru saja diproklamasikan. Akhirnya didapatkan kesepakatan mengenai penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi sebuah rumusan baru yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai upaya menjaga keutuhan NKRI. Sebagaimana berikut:
- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di dalam perjalanannya Pancasila mengalami berbagai macam situasi yang membuatnya mengalami banyak perubahan, berikut penjelasan singkat mengenai sejarah perumusan pancasila sebagimana yang tercantum dibeberapa dokumen penting. (baca juga: Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia)
- Rumusan Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta Charter) – tanggal 22 Juni 1945
- Rumusan Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar – tanggal 18 Agustus 1945
- Rumusan Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat – tanggal 27 Desember 1949
- Rumusan Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara – tanggal 15 Agustus 1950
- Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)