Pada artikel sebelumnya kita sudah mengenal tentang sejarah demokrasi di dunia dan di Indonesia. Untuk melengkapi pembahasan tersebut, artikel kali ini akan membahas tentang sistem demokrasi di Indonesia secara lebih spesifik dan mendetail. Masyarakat Indonesia yang terkenal dengan budaya gotong royong dan musyawarahnya, sangat mencerminkan bahwa Indonesia memang negara yang menganut sistem demokrasi. Bahkan budaya demokrasi tidak hanya dirasakan dikalangan masyarakat umum saja, namun juga dikalangan pejabat negara dalam mengatur tata pemerintahan negara.
Kalau mau lebih menelisik kebelakang, leluhur negara ini sebenarnya sudah lebih dulu mengenal sistem demokrasi sejak berabad-abad sebelum Indonesia merdeka. Kita tentu sudah pernah mendengar sepak terjang leluhur negara ini pada saat Indonesia masing berbentuk kerajaan-kerajaan. Banyak kerajaan di Indonesia yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, bahkan sampai keluar wilayah Indonesia. Hal ini bisa dijadikan sebagai bukti, bukan tidak mungkin leluhur kita melakukan budaya musyawarah dalam menyusun strategi untuk memperluas wilayahnya, dan ini merupakan ciri dari budaya demokrasi, namun perlu diketahui bahwa konsepnya masih sangat primitif sekali. (Baca : Fungsi Kebudayaan bagi Masyarakat dan Contohnya)
Selanjutnya pada saat masa pendudukan Belanda, budaya demokrasi semakin berkembang dengan kemunculan organisasi-organisasi masyarakat sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah. Beberapa organisasi tersebut banyak dilahirkan oleh kaum intelek pada masa itu. Keberadaan organisasi masyarakat sebagai wadah aspirasi ini juga dapat dijadikan bukti pelengkap bahwa negara Indonesia tidak lepas dari budaya demokrasi.
Setelah Indonesia merdeka, buadaya demokrasi berkembang semakin dewasa dan dilandasi dengan konsep pemikiran yang lebih modern. Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya dan mulai membuat tata pemerintahan sendiri, kemudian dari masa awal kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan sistem demokrasi sebagai landasan dalam mengatur pemerintahannya. (Baca : Cara Melestarikan Budaya di Indonesia)
Sistem Demokrasi Parlementer
Sistem demokrasi parlementer ini diberlakukan pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Sebenarnya sistem demokrasi parlementer ini secara praktiknya sudah diberlakukan sejak November 1945, namun secara hukum konstitusional baru ditetapkan pada tahun 1950 sejak disahkannya UUDS 1950.
Sistem demokrasi parlementer bukanlah sistem pertama yang diterapakan di Indonesia, setelah pasca proklamasi kemerdekaan. Pemerintahan pada waktu itu menerapkan sistem presidensil tepat satu bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Penerapan sistem presidensil ini mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Namun beberapa bulan setelah diberlakukannya sistem presidensil ini digantikan dengan sistem demokrasi parlementer, tepatnya November 1945.
Pergantian sistem presidensil menjadi sistem demokrasi parlementer ini didasari pada maklumat wakil presiden no X November 1945. Sistem presidensil yang mengkiblat eropa ini dianggap terlalu memberi kekuasaan berlebih kepada sosok seorang presiden. Pendapat ini pertama kali dicetuskan oleh Sutan Syahrir berdasarkan kecemasannya terhadap anggapan dunia internasional bahwa kemerdekaan Indonesia terjadi karena bantuan Jepang dan penerapan sistem presidensil yang menganut sistem negara eropa ini dijadikan sebagai daya pikat agar negara eropa mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun ada juga beberapa pihak yang menganggap Sutan Syahrir ingin menepikan posisi Soekarno hanya sebatas simbol kekuatan negara. Setelah sistem presidensil resmi digantikan dengan sistem demokrasi parlementer tepat pada 15 Agustus 1950 melalui disahkannya UUDS 1945.
Kesalahan-kesalahan pada sistem demokrasi parlementer :
- Kedudukan badan eksekutif bergantung pada dukungan parlemen, mengakibatkan kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen sewaktu-waktu.
- Badan eksekutif tidak bisa ditentukan masa berakhirnya sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat dibubarkan oleh parlemen.
- Kabinet bisa mengendalikan parlemen. Hal ini dapat terjadi jika anggota anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas. Oleh sebab itu pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai maka anggota anggota kabinet pun dapat mengusai parlemen.
- Parlemen dapat dijadikan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif, berbeda dengan sistem presidensial. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen akan sangat bermanfaat dan menjadi cikal bakal karakter yang penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
Sistem Demokrasi Terpimpin
Setelah mengalami perubahan dari sistem presidensil menjadi sistem demokrasi parlementer, beberapa pihak masih merasa banyak kekurangan yang terjadi dalam pemerintahan negara. Jika pada sistem presidensil dianggap presiden terlalu didewakan, kini untuk sistem demokrasi parlementer, peran presiden dianggap hanya sebatas simbol atau kepala negara saja, seluruh kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh partai politik.
Untuk meredam konflik yang terjadi pada sistem demokrasi parlementer, maka dikeluarkanlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi.
- Pembubaran Konstituante.
- Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950.
- Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dengan kemunculan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini melahirkan dampak positif dan dampak negatif pada jalannya pemerintahan Indonesia.
Dampak positif berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
- Menyelamatkan pemerintahan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.
- Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan pemerintahan negara.
- Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.
Dampak Negatif berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
- Berdasarkan kenyataannya UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 1945 harusnya dijadikan dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan, namun pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.
- Memberi kekeuasaan berlebih pada presiden, MPR dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.
- Memberi peluang untuk pihak militer terjun kedalam politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.
Demokrasi Masa Order Baru dan Masa Reformasi
Setelah runtuhnya rezim pemerintahan presiden Soekarno dan digantikan dengan masa pemerintahan presiden Soeharto, pemberlakuan sistem demokrasi di Indonesia dianggap berantakan. Sebenarnya pemberlakuan demokrasi Pancasila yang dilakukan ada masa orde baru ini sangatlah sesuai dengan hati dan kepribadian rakyat Indonesia, namun sering berjalannya waktu, kaidah demokrasi Pancasila mulai diselewengkan dan fungsi-fungsi pengatur dalam demokrasi Pancasila mulai ditinggalkan.
Sistem dan budaya demokrasi Pancasila yang diselewengkan ini sangat terkesan jauh dengan kepribadian bangsa Indonesia. Pada masa presiden Soeharto, kebebasan rakyat dalam berpendepat sangat dibatas. Dan secara tidak langsung Golkar menjadi satu-satunya partai politik yang sangat dominan dan menguasai segala segi pemerintahan.
Selain itu juga selama beberapa dekade tidak terjadi perguliran kekuasaan untuk kursi presiden. Soeharto terlalu lama memonopoli kekuasaan, kalaupun ada kursi kekuasaan yang berganti hanya untuk kalangan pejabat sekelas lurah, camat atauun bupati dan walikota. Masyarakat dituntut untuk mengakui Golkar sebagai partai politik utama. Dengan adanya ketidakadilan ini, amarah rakyat melonjak hingga terjadilah konflik di tahun 1998 untuk menggulirkan kekuasaan presiden Soeharto. (Baca : Kedudukan Warga Negara dalam Negara Indonesia)
Runtuhnya kekuasaan Soeharto kemudian digantikan dengan naiknya B.J Habibie menjadi presiden. Kemudian penerapan sistem demokrasi Pancasila masih diberlakukan, namun beberapa penyelewengan yang terjadi pada masa orde baru mulai diperbaiki.
Ciri Masa Demokrasi Pancasila Reformasi :
- Adanya sistem multi partai.
- Diberlakukan pemilihan langsung (Pemilu) kepala pemerintahan.
- Diberlakukan supermasi hukum.
- Adanya pembagaian kekuasan yang lebih tegas.
- Kebebasan hak politik rakyat (kebebasan berpendapat dan informasi publik & pers).